BEDAH
Bedah adalah suatu tindakan penyembuhan penyakit dengan cara memotong atau mengiris bagian tubuh yang sakit, yang biasa disebut operasi.
Pengaruh pembedahan terhadap metabolisme pascabedah tergantung berat ringannya pembedahan, keadaan gizi pasien prabedah, dan pengaruh pembedahan terhadap kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi.
Setelah pembedahan sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat berlangsung selama 5-7 hari atau lebih pascabedah. Peningkatan ekskresi kalsium terjadi setelah operasi besar, trauma kerangka tubuh, atau setelah lama tidak bergerak (imobilisasi). Demam meningkatkan kebutuhan energi, sedangkan luka dan pendarahan meningkatkan kebutuhan protein, zat besi, dan vitamin C. Cairan yang hilang perlu diganti.
KLASIFIKASI BEDAH
A. BEDAH VASKULER
1. Riwayat Penyakit
Anamnesa harus dilakukan dengan teliti dan lengkap. Pertanyaan harus ditujukan pada semua aspek penyakit baskuler – penyakit arteri oklusif, penyakit vena, sindrom “thoracic outlet”, hipertensi portal, dan sebagainya.
Kebanyakan pasien mempunyai masalah yang berhubungan dengan penyakit oklusif arteri. Pemeriksa harus mencari gejala-gejala yang menyangkut setiap segmen sistem vaskuler: kardiak (infark miokard, angina); serebrovaskuler (stroke, serangan iskhemik sepintas); renal (hipertensi); dan ekstremitas (klaudikasio, nyeri pada waktu beristirahat). Harus ditanyakan pula ada atau tidak adanya faktor-faktor risiko aterosklerotik : merokok, hiperlipidemia, hipertensi, dan diabetes.
2. Pemeriksaan Fisik
Sistem arteri dan vena harus diperiksa dengan cermat. Hal-hal khusus yang berhubungan dengan sistem arteri termasuk pokok-pokok berikut ini :
• Semua nadi harus dipalpasi dan dinilai dari 0 (tidak ada) sampai 4+ (normal). Nadi-nadi yang harus diperiksa adalah: karotis, temporalis superfisialis, subklavia, brakhialis, radialis. Ulinaris, aorta abdominalis, femoralis, poplitea, dorsalis pedis, dan tibialis posterior.
• Arteri harus diperiksa untuk : kualitas nadi; ukuran dan kualitas arteri (misalnya apakah pembuluh tersebut lunak, atau keras dan mengalami kalsifikasi; apakah ia membentuk aneurisma?)
• Bising (bruit) mencermikan aliran turbulen dari stenosis pembuluh tersebut. Auksultasi harus dilakukan di atas arteri karotis, subklavia, aorta abdominalis, iliaka, femoralis dan poplitea.
• Thrill adalah bising yang dapat dipalpasi dan merupakan manifestasi stenosis berat.
• Elevation pallor (kepucatan kaki bila diangkat) menunjukkan iskemia yang berarti.
• Dependen rubor (kaki berwarna merah bila diluruskan ke bawah) menunjukkan iskemia berat.
• Tanda-tanda iskemia berat lainnya adalah ulkus kulit dan gangren.
3. Tes Noninvasif
Untuk membantu diagnosa dan beratnya penyakit vaskuler.
• Penyakit serebrovaskuler fonoangiogram menentukan lokasi dan intensitas bising servikal. Pletismografi okuler (OPG) bermanfaat untuk menentukan tekanan “ke depan” atau “stump” (Gee – OPG). Atau derajat stenosis (Kartchner – OPG). “Pulsed doppler ultrasonic imaging” sekarang dipakai untuk menilai derajat stenosis arteri karotis.
• Ekstremitas inferior “Doppler ultrasound” memungkinkan kita untuk mendengar aliran darah, baik arteri maupun vena, dan memungkinkan perhitungan suplai darah dengan mengukur tekanan arteri.
4. Arteriografi
Merupakan tes diagnostik vaskuler yang utama, ia dipakai untuk menggambarkan dengan tepat anatomi arteri, poli lesi oklusif, dan derajat stenosis. Teknik-teknik baru dengan menggunakan penyuntikan zat kontras ke dalam vena dan “computerized scanning” di atas arteri yang diperiksa memberikan harapan untuk membuat “arterio gram” tanpa memerlukan kanulasi arteri secara langsung.
B. BEDAH PLASTIK
Tujuan bedah plastik dan rekonstruktif adalah memperbaiki cacat kongenital atau didapat untuk memperbaiki fungsi dan penampilan. Mengobati berbagai macam deformitas, tidak hanya yang terdapat pada jaringan dipermukaan tubuh, tetapi juga pada struktur-struktur lebih dalam dari semua bagian tubuh.
Perencanaan Suatu Operasi Rekonstruktif:
a. Diagnosa deformitas. Dari sudut bedah plastik ini, meliputi penentuan jumlah jaringan yang hilang dan derajat distrosi, separasi, dan atrofi atau hipertrofi.
b. Pertimbangkan semua cara perbaikan yang mungkin dan pilihlah salah satu yang akan mencapai hasil yang sebaik mungkin dengan cara paling sederhana dan paling langsung, dengan menggunakan jaringan yang berdekatan bilamana mungkin.
c. Pada prosedur bertahap ganda, sebelumnya rencanakanlah secara terperinci seluruh urutan prosedur. “Pedicle Graft” yang akan dipindahkan sebaiknya dirancang sedemikian rupa untuk memperkecil pembentukan jaringan parut atau deformitas pada tempat donor.
C. BEDAH PEDIATRIK
PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN KHUSUS DALAM PENGELOLAAN PASIEN PEDIATRIK
Bayi dan anak kecil mempunyai toleransi yang relatif rendah terhadap infeksi, trauma, kehilangan carah, dan gangguan gizi serta cairan. Terapi yang dilakukan berbeda dengan terapi pada orang dewasa, dan batas keamanannya lebih sempit. Aspek-aspek khas tertentu dari perawatan bedah pada bayi dari anak kecil patut mendapat penekanan.
A. Pengelolaan Cairan dan Elektrolit
Cairan parenteral harus disesuaikan menurut besarnya tubuh penderita.
1. Kebutuhan cairan dan elektrolot penunjang sehari-hari dapat dihitung menurut berat badan. Batas-batas fisiologis dari penggantan air adalah 30 ml / kg BB dia atas atau di bawah kebutuhan harian rata-rata ini. Kebutuhan elektrolit penunjang dapat diberikan IV dengan memakai larutan-larutan seperti dekstrosa 5% dan saline 0,2% dengan kalium klorida yang ditambahkan dengan konsentrasi 20 mEq/liter.
2. Defisit yang sudah ada sebelumnya karena kehilangan cairan ke luar seperti muntah, diare, dan hilangnya cairan ke “ruang ketiga” seperti ke dalam lumen usus, kavum peritoneum, atau luka besar yang memerlukan ekspansi volume darah dengan cepat.
3. Kehilangan darah akut diganti dengan transfusi dengan penambahan 10-20 ml/kg BB untuk mempertahankan tanda-tanda vital, pengeluaran urin, dan hematokrit yang normal. Volume darah normal adalah 85 ml/kg pada bayi dan 75 ml/kg pada anak-anak. Kehilangan darah kronis hanya diganti bila hemoglobin turun di bawah 8-9 gram/100ml.
4. Kehilangan yang terus menerus seperti sekresi gastrointestinal, pipa dada atau drainase empedu, dan kehilangan ke ruang “ke tiga” memerlukan penggantian bersama-sama dengan kebutuhan penunjang.
5. Kebutuhan cairan harus dinilai kembali secara terus menerus dan perintah-perintah harus ditulis kembali dengan interval tidak lebih dari 8 jam. Pemasangan kateter di atrium kanan melalui vena yugularis eksterna akan memungkinkan pengawasan tekanan vena sentral. Cara-cara untuk menilai respons terhadap terapi termasuk pengukuran berat badan, turgor kulit, kelembaban membran mukosa, respons nadi dan tekanan vena sentralis, perfusi kulit, pengeluaran urin dan berat jenisnya, osmolaritas urin dan serum, hemoglobin, hematokrit, dan perubahan-perubahan elektrolit serum.
B. Nutrisi
Seorang bayi membutuhkan 100 kal/kg , BB/24 jam dan 3 gr protein/kg , BB/24 jam untuk mencapai penambahan berat badan normal sebesar 10-15 gram/kg bb/24 jam. Kebutuhan kalori dan protein yang tinggi ini menurun dengan bertambahnya usia tetapi meningkat pada sepsis, stress, dan trauma. Keadaan katabolik yang disertai oleh kelaparan untuk waktu lama dan meningkatnya pengeluaran energi yang terjadi pada keadaan bedah harus diterapi dengan memberikan kalori dan protein yang memadai.
D. ORTOPEDI
I. Trauma Pada Kolumna Vertebralis
A. Prinsip-prinsip umum
Penyakit ini tergantung pada berat dan mekanisme trauma serta lokasi anatomik lesi, trauma ini dapat berkisar dari kerusakan ringan pada jaringan lunak (misalnya kontusio, muscle strain, atau joint sprain) sampai fraktur-dislokasi yang luas dengan gangguan neurologik yang berat.
Tempat khusus dari fraktur ditunjukkan oleh struktur yang terlibat (yaitu korpus, pedikel, lamina, atau prosesus otot). Dislokasi digambarkan dengan arah dan besarnya (komplit atau tidak komplit) perpindahan tempat dan dengan derajat kerumitannya (yaitu unilateral atau bilateral). Faktur patologik dapat terjadi tanpa tanda trauma.
1. Jenis-jenis Fraktur
a. Langsung
1) Tertutup : Disebabkan oleh trauma yang terjadi melalui jaringan lunak di atasnya tanpa luka terbuka yang berhubungan dengan kerangka aksial; biasanya merupakan fraktur prosesus spinosus atau transversus dan jarang terjadi pada lamina.
2) Terbuka : umumnya karena trauma tembus seperti yang disebabkan oleh senjata api, proyektil, atau pisau.
b. Tak langsung
Bila kerusakan ini luas, mereka mungkin terjadi sebagai akibat kombinasi kompleks berbagai stress dasar (misalnya kompresi, traksi, pembengkokan, shearing, dan torsi) bukannya karena satu stress tunggal.
2. Kerusakan neurologi kebanyakan kerusakan skeletel dari kolumna vertebralis tidak melibatkan medula spinalis atau saraf-saraf. Kerusakan pada medula spinalis dapat terjadi sebagai komplikasi dari setiap pemindahan yang mengurangi, bahkan untuk sementara waktu saja, diameter kanalis tersebut. Kerusakan neurologik yang luas dapat terjadi tanpa tanda gangguan osteoartikuler dan sebaliknya, kerusakan skeletal yang jelas mungkin tidak disertai dengan defisit neurologik.
Kerusakan neurologik dapat diperberat oleh manipulasi selama perawatan darurat. Bila pasien tidak mampu berkomunikasi atau kemungkinan besar menderita trauma pada daerah servikal atau thorakolumbukal, kepala dan badannya harus dimanipulasi dengan sangat berhati-hati sampai kerusakan yang terjadi dapat dinilai secara kritis. Berbagai tingkat kolumna vertebralis dapat terusak pada saat yang bersamaan.
3. Kerusakan lain, kerusakan lain pada ekstremitas atau sistem organ lain dari pasien yang sadar dapat menutupi gejala-gejala yang mungkin mengarahkan perhatian pada trauma kolumna vertebralis.
4. Diagnosa periode ketidaksadaran atau amnesia sementara dapat mengaburkan mekanisme dan luasnya kerusakan awal. Penentuan waktu paling dini dari permulaan setiap gangguan motorik atau sensorik berguna untuk menentukan prognosa.
PERAWATAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMBEDAHAN
Penilaian dan persiapan sebelum pembedahan
1. Penilaian
Tujuan utama untuk mengadakan penilaian sebelum pembedahan adalah untuk mengenali persoalan-persoalan yang menyangkut resiko pembedahan. Sebagai tambahan, perawatan di rumah sakit memberi kesempatan untuk mengenali persoalan-persoalan lain mengenai kesehatan yang perlu diperhatikan, jika menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki pada pembedahan yang disarankan itu.
• Riwayat
Suatu catatan yang lengkap mengenai latar belakang kesehatan harus dapat diperoleh, termasuk penyakit yang sedang diderita, penyakit-penyakit yang pernah diderita dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan itu.
• Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan secara menyaluruh harus dilakukan. Sistem jantung dan pernafasan harus mendapat perhatian yang seksama. Jangan mengabaikan denyut nadi perifer, pemeriksaan rectal dan pelvis (kecuali kalau terhalang oleh usia, status perkawinan seseorang atau halangan lainnya).
• Tes laboratorium
Tes laboratorium yaitu menghitung jumlah darah lengkap, analisa air kemih, serologi dan analisa darah. Elektrodiorgam dan penyinaran sinar X pada dada dilakukan pada semua penderita-penderita dewasa sebelum pembedahan dilakukan. Salah satu tes penelitian yang bermanfaat adalah pemeriksaan pada feses untuk melihat kalau ada bercak darah dan tes papanicolaou pada serviks.
• Penyinaran dengan sinar X
Penyinaran dengan sinar X pada dada hanya dilakukan jika ada anamnesa dan gambaran klinik yang mencurigakan.
2. Persiapan
Tanganilah gangguan yang mempengaruhi resiko pembedahan sebanyak mungkin
Gangguan-gangguan tersebut yaitu syok, hipovolemia, anemia, ketidakseimbangan elektrolit, fungsi ginjal yang tidak sempurna dan hipertemia yang harus dirawat atau pembedahan ditangguhkan. Dalam keadaan darurat, pentingnya pembedahan dengan segera mungkin menuntut agar penanganan yang sempurna tak usah dilakukan.
Tanda persetujuan secara tertulis
Sang penderita dan keluarganya harus diberitahu tentang semua kemungkinan yang dapat terjadi dalam terapi itu. Sifat dari pembedahan dan resikonya harus dijelaskan dengan sebaik-baiknya dan tanda tangan si penderita atau walinya yang resmi yang menyatakan bahwa pembedahan tersebut disetujui haruslah diperoleh. Dalam keadaaan darurat, dimana si penderita tidak sadar dan keluarganya tidak hadir maka pembedahan tersebut dapat dilakukan tanpa persetujuan. Ahli bedahnya haruslah mengetahui dan mengikuti syarat-syarat resmi setempat.
Catatan sebelum pembedahan
Ahli bedah harus meninggalkan suatu catatan pada status sang penderita dengan menuliskan latar belakang, penemuan-penemuan, dan indikasi untuk operasi itu. Pernyataan-pernyataan itu harus mencakup bukti persetujuan tertulis yang telah diperoleh.
Pesan-pesan sebelum pembedahan
1. Persiapan kulit
Daerah yang akan dicukur ditentukan. Lebih baik kalau pencukuran itu langsung dilakukan sebelum pembedahan, tidak sehari sebelumnya. Penderita harus dimandikan dengan bersih malam sebelum pembedahan. Umbilicus merupakan tempat bersarangnnya lapisan epitel yang terkelupas dan debu; itu harus dibersihkan oleh penderita atau juru rawat.
2. Diet
Penderita tidak boleh makan makanan saat selama 12 jam dan minum cairan selam 8 jam sebelum pembadahan. Bayi yang menjalani pembedahan paling awal harus puasa minum yang biasanya diberikan jam 4 pagi.
3. Cairan intravena
Pemberian cairan intravena tidak diperlukan dalam berbagai kasus, tetapi pada penderita lanjut usia atau penderita yang lemah, penderita yang diberi pencahar berat, penderita yang dibedah siang hari, penderita dengan gangguan vaskuler yang berat, dan sebagainya, bermanfaat diberikan cairan penguat yang diberikan pada malam sebelum pembedahan.
4. Pengurangan isi perut
Indikasi pemberian pencahar dan enema sebelum pembedahan meliputi; konstipasi kronis, pemeriksaan barium pada saluran gastrointestinal, pemberian antasida yang mengandung aluminium atau kalsium; pembedahan yang seringkali diikuti oleh fungsi pencernaan yang tidak berjalan dengan lancar. Pengosongan sebagian dari usus dilakukan dengan pemberian 2-3 tablet biksakodil (Dulkolax) per oral. Pengurasan yang lebih sempurna dilakukan dengan enema memakai garam fisiologis atau air ledeng yang hangat-hangat kuku (500-1500 ml).
5. Pemberian obat-obatan
Obat-obatan yang baru diminum oleh penderita dapat atau tidak dapat diteruskan hingga saat pembedahan. Antibiotika harus mulai diberikan sebelum pembedahan bilamana itu digunakan sebagai profilaksis melawan peradangan. Heparin dosis rendah harus diberikan sebelum pembedahan kepada beberapa penderita.
6. Tes laboratorium
Darah harus diambil untuk dites pada pagi hari sebelum pembedahan pada beberapa penderita. Contohnya meliputi glukosa darah pada penderita diabetes, kalium serum pada penderita payah ginjal, hematokrit bila dikhawatirkan terjadinya kehilangan darah yang hebat.
7. Tranfusi darah
Darah harus dicocokkan dengan penderita bilamana diperkirakan akan dilakukan transfusi. Komponen darah (misal trombosit) harus disiapkan terlebih dahulu bilamana akan diperlukan.
8. Aktivitas
Penderita yang dapat berjalan harus dibangunkan dan disuruh berjalan sebelum diberikan sedative preoperative.
9. Kandung kemih
Bilamana kateter untuk mengeluarkan air kemih tidak akan digunakan, penderita harus buang air kecil sebelum diberikan pembiusan. Kateter Foley digunakan pada pembedahan pelvis; pembedahan yang lama, pembedahan yang mengakibatkan hilangnya banyak darah, maka lebih baik memasang kateter sesudah penderita dibedah daripada sebelumnya.
10. Pernafasan
Penderita dengan penyakit paru harus diberi rangsangan agar batuk dan mengambil nafas dalam dengan menggunakan spirometer insensitive sebelum pembiusan untuk membersihkan sekret yang dihasilkan waktu malam sebelumnya.
11. Tabung nasogastrik
Jika penderita mengalami gangguan gastrointestinal, perut yang penuh, atau beberapa alasan istimewa lainnya, dapat dipasang tabung nasogastrik sesudah pembiusan bilamana tabung itu dibutuhkan.
12. Kateter vena dan arteri
Suatu infus vena dipasang pada malam hari sebelum pembedahan bila cairan intravena sebelum pembedahan dibutuhkan. Kateter vena yang besar dapat dipasang melalui kulit atau sayatan, di ruang tunggu atau di kamar bedah, bilamana diperkirakan akan terjadi kehilangan darah yang banyak atau bila kompensasi jantung penderita mengkhawatirkan. Kateter arteri bertambah penggunaannya pada penderita sakit berat, atau mereka yang menjalani pembedahan luas, yang dapat dilakukan di ruang bedah.
Perawatan sesudah pembedahan
Pesan-pesan sesudah pembedahan
Jenis pembedahan
Harus dinyatakan sehingga para perawat dan dokter yang tidak mengenal penderita akan mengetahui persoalan apa yang mereka hadapi.
Tanda-tanda vital
1. Tekanan darah, denyut nadi dan kecepatan pernafasan harus dicatat setiap 15 menit pada beberapa kasus lebih sering hingga penderita stabil. Sesudah itu tanda-tanda harus dicatat setiap jam selama beberapa jam, kemudian setiap 4 jam. Frekuensi observasi ini terutama tergantung pada sifat pembedahan itu dan keadaan penderita. Suhu biasanya dicatat setiap 4 jam, tetapi beberapa penderita selama pembedahan menjadi hipotermi dan lainnya menderita demam sebelum pembedahan, penderita-penderita ini dimonitor lebih sering.
2. Tekanan vena sentral harus dipertahankan. Dan tentukan batas terendah dan tertinggi yang masih dapat diterima bagi setiap penderita.
3. Tekanan arteri harus dipertahankan. Jalur tersebut harus dikuras dengan garam fisiologis setiap 30 menit. Tekanan arteri biasanya dimonitor terus menerus pada suatu osiloskop.
4. Tekanan arteri paru diukur pada beberapa penderita gawat tertentu.
5. Monitoring EKG yang terus menerus disarankan bagi semua penderita.
Aktivitas dan posisi
Penderita harus diperintahkan untuk berbaring ditempat tidur sehingga keadaannya stabil. Untuk kasus-kasus yang rutin, penderita diizinkan untuk berjalan-jalan dengan bantuan juru rawat malam sebelum pembedahan atau setidak-tidaknya, para penderita pria boleh berdiri untuk buang air kecil.
Makanan
Tidak diperkenankan menelan apa-apa sesudah kebanyakan operasi yang besar, dalam kasus yang lain, makanan khusus dapat diberikan dengan segera. Pada penderita yang mula-mula NPO, cairan boleh diberikan, bilamana fungsi pencernaan sudah mulai berfungsi dan makanan boleh diberikan bilamana kita sudah mengetahui bahwa cairan yang diberikan dapat ditoleransi.
Perawatan pernafasan
Penderita yang diberi ventilator haruslah mempunyai tekanan, volume dan kadar zat asam yang sudah ditentukan. Penderita yang dapat bernafas secara spontan harus dianjurkan untuk batuk dan hiperventilasi setiap jam atau setiap dua jam untuk mencegah terjadinya antelektasis.
Cairan intravena
Tentukan jenis cairan dan kecepatan infus yang dibutuhkan, infus-infus yang tidak penting harus dibuang, transfus dasar disarankan bilamana diperlukan.
Sistem air kemih
Derajat perbandingan pengeluaran air kemih pada penderita yang memakai kateter dimonitor setiap jam seperti halnya tanda-tanda vital lainnya. Jika tidak dipasang kateter, setidaknya penderita tidak buang air kecil selama 6 jam sesudah pembedahan.
Intake dan output
Cairan dari semua sumber harus dicatat pada suatu waktu tertentu, biasanya setiap 8 jam dan berat badan ditimbang setiap hari sesudah pembedahan besar.
Tabung, kompresan dan pengeringan harus dipantau secara rutin.
Pengobatan
1. Analgesik. Narkotika, seperti morfin dan meperedin (Demerol) dibutuhkan untuk meringankan rasa sakit pada kebanyakan penderita. Narkotika paling baik diberikan dalam dosis IV yang kecil (misalnya morfin sulfat 1-2 mg) setiap 1-2 jam. Dosis berbeda-beda pada penderita yang berlainan.
2. Pemberian antibiotika harus diteruskan jika dibutuhkan.
3. Obat-obatan lain yang akan diberikan juga harus diperhatikan lebih teliti.
Tes laboratorium dan sinar X
Kebutuhan akan pemeriksaan ini berbeda-beda. Hematokrit, elektrolit serum, analisa air kemih, gas darah arteri, EKG dan penyinaran dada dengan sinar X paling sering diperlukan.
PENGATURAN DIET PADA PEMBEDAHAN
Diet Pra Bedah
Gambaran umum
Diet pra bedah adalah pengaturan makan yang diberikan kepada pasien yang akan menjalani pembedahan.
Pemberian diet pra bedah tergantung pada:
a. Keadaan umum pasien, apakah normal atau tidak dalam hal status gizi, gula darah, tekanan darah, ritme jantung, denyut nadi, fungsi ginjal, dan suhu tubuh.
b. Macam-macam pembedahan:
a) Bedah minor atau bedah kecil, seperti tindakan insisi, ekstirpasi, dan sirkumsisi atau khitan.
b) Bedah mayor atau bedah besar, yang dibedakan dalam bedah pada saluran cerna (lambung, usus halus, dan usus besar) dan bedah di luar saluran cerna (jantung, ginjal, paru, saluran kemih, tulang, dsb.)
c. Sifat operasi:
a) Segera dalam keadaan darurat atau cito, sehingga pasien tidak sempat diberi diet pra bedah.
b) Berencana atau elektif. Pasien disiapkan dengan pemberian diet pra bedah sesuai status gizi dan macam pembedahan.
d. Macam penyakit:
a) Penyakit utama yang membutuhkan pembedahan adalah penyakit saluran cerna, jantung, ginjal, saluran pernapasan, dan tulang.
b) Penyakit penyerta yang dialami, misalnya penyakitdiabetes melitus, jantung dan hipertensi.
Tujuan diet
Tujuan diet pra bedah adalah untuk mengusahakan agar status gizi pasien dalam keadaan optimal pada saat penyembuhan luka.
Syarat diet
Syarat-syarat diet pra bedah adalah:
1) Energi
Bagi pasien dengan status gizi kurang diberikan sebanyak 40-45 kkal/kg BB kebutuhan eneri normal.
Bagi pasien dengan status gizi baik diberikan sesuai dengan kebutuhan energi normal ditambah faktor stres sebesar 15% dari AMB (Angka Metabolisme Basal)
2) Protein
Bagi pasien dengan status gizi kurang, anemia, albumin rendah (<2,5 mg/dl) diberikan protein tinggi 1,5-2,0 g/kg BB.
Bagi pasien dengan status gizi baik atau kegemukan diberikan protein normal 0,8-1 g/kg bb.
3) Lemak cukup, yaitu 15-25% dari kebutuhan energi total. Bagi pasien dengan penyakit tertentu diberikan sesuai dengan penyakitnya.
4) Karbohidrat cukup, sebagai sisa dari kebutuhan energi toatal untuk menghindari hipermetabolisme. Bagi pasien dengan penyakit tertentu, karbohidrat diberikan sesuai dengan penyakitnya.
5) Vitamin cukup, terutama vitamin B, C, dan K. Bila perlu ditambahkan dalam bentuk suplemen.
6) Mineral cukup. Bila perlu ditambahkan dalam bentuk suplemen.
7) Rendah sisa agar mudah dilakukan pembersihan saluran cerna atau klisma, sehingga tidak menganggu proses pembedahan (tidak buang air besar atau kecil di meja operasi).
Diet Pasca Bedah
Gambaran umum
Diet pasca bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta.
Tujuan
Tujuan diet pasca bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut:
1) Memberikan kebutuhan dasar (cairan, energy, protein)
2) Mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain
3) Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan
Syarat diet
Syarat diet pasca bedah adalah memberikan makanan secara bertahap mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari tahap ke tahap tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien, seperti:
1) Pascabedah kecil
Makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau normal.
2) Pascabedah besar
Makanan diberikan secara berhati-hati atau disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk menerimanya.
KEADAAN UMUM YANG MEMPENGARUHI PEMBEDAHAN
A. Umur
Penderita yang sangat muda atau lanjut usianya mempunyai resiko kompllikasi atau kematian yang lebih besar dalam operasi karena mereka mempunyai batas keselamatan yang sempit; kesalahan kecil yang mungkin dapat ditoleransi dengan baik oleh orang muda, dengan cepat menimbulkan akibat yang membahayakan pada anak-anak atau penderita lanjut usia, kadang-kadang dengan akibat yang mematikan.
1. Anak-anak
a. Anak-anak menjadi sangat hipovolemik sebagai akibat kehilangan darah atau cairan yang ringan.
b. Kekurangan vitamin K pada neonates dapat mengakibatkan pendarahan oleh karena hipoprotromibinemia.
c. Demam dapat menyebabkan kejang atau kolaps kardiovaskular; suhu harus diturunkan sebelum pembedahan dengan membasuh dengan air dan alcohol atau dengan memakai kompresan es. Pembedahan elektif harus ditangguhkan bilamana anak menderita demam.
2. Lanjut usia
a. Resiko pembedahan harus dipertimbangkan atas dasar usia fisiologis dari pada usia kronologis. Bahaya dari rata-rata operasi basar pada penderita diatas 60 tahun meningkat sedikit saja, dengan syarat bahwa tidak ada penyakit kardiovaskular, ginjal atau penyakit sistemik lainnnya.
b. Penderita lanjut usia cenderung mengalami payah jantung bilamana sirkulasinya mengandung cairan yang berlebihan.
c. Orang lanjut usia biasanya membutuhkan dosis narkotika, sedative, anestesi yang lebih kecil daripada penderita yang lebih muda. Depresi pernafasan dapat ditimbulkan oleh narkotiika; barbiturate sering kali menyebabkan kekacauan mental.
B. Obesitas
Penderita pembedahan gemuk mempunyai kecenderungan yang lebih besar dari orang normal terjangkit penyakit sampingan yang berat dan mempunyai kemungkinan luka sesudah operasi dan komplikasi tromboemboli yang lebih besar. Kegemukan juga meningkatkan kesukaran teknis dalam pembedahan dan pembiusan. Kadang-kadang disarankan untuk menangguhkan pembedahan elektif hingga berat badan penderita turun sesuai dengan ukuran yang berlaku.
C. Penderita yang bisa membahayakan
Seorang penderita merupakan “tuan rumah yang membahayakan atau berubah” bila kemampuannya untuk memberikan tanggapan normal terhadap infeksi atau trauma diturunkan secara signifikan oleh suatu penyakit atau sebab lainnya. Meningkatnya keadaan yang mudah dipengaruhi oleh radang dan penyembuhan luka yang terlambat merupakan persoalan sesudah pembedahan yang utama.
Meningkatnya keadaan yang mudah dipengaruhi oleh radang dapat timbul dari :
1. Obat-obatan, seperti corti kosteroid, suatu obat imunosupresif, obat sitotoksit, dan terapi antibiotika yang lama. Infeksi pada penderita ini dapat disebabkan oleh bakteri biasa, tetapi kadang-kadang oleh jamur dan organisme lain yang jarang bersifat patogenik.
2. Kekurangan gizi
3. Payah ginjal
4. Granulositopenia dan penyakit yang menyebabkan orang menjadi kurang kebal (misalnya limfoma, leukemia dan hipogamaglobulinemia)
5. Diabetes yang tidak diawasi.
D. Alergi dan kepekaan
Suatu riwayat tentang reaksi dari dalam atau sakit sesudah disuntik, pemberian per oral atau penggunaan lain dari zat tertentu harus dihindari. Zat tertentu tersebut misalnya:
1. Penisilin atau antibiotika lainnya, termasuk sulfomamida
2. Narkotika
3. Aspirin atau obat anagesik lain
4. Barbiturate
5. Antitoksin tetanus atau serum lainnya
6. Yodium atau antiseptic lainnya
7. Makanan (misalnya coklat, susu, telur)
8. Pita rekat
E. Obat-obatan yang sedang diminum
Obat-obatan yang sedang diminum oleh penderita harus dipertimbangkan kelanjutannya, penghentiannya atau penyesuaian dosis. Obat seperti digitalis, insulin dan kortison biasanya harus terus diberikan dan dosisinya diatur dengan teliti selama periode pembedahan dan sesudahnya. Antikoagulan merupakan suatu contoh dari obat yang harus diawasi dengan ketat atau dihentikan sebelum pembedahan.
PENYAKIT NON BEDAH YANG MEMPENGARUHI RESIKO PEMBEDAAN
1. Penyakit jantung
Keadaan jantung yang cukup parah untuk melemahkan kapasitas jantung untuk memberi tanggapan atas stress dapat meningkatkan resiko pembedahan. Kondisi jantung yang paling sering dihubungkan dengan resiko pembedahan yang meningkat adalah: payah jantung atau cadangan miokardinal yang terbatas, penyakit jantung koroner dengan riwayat pernah mengalami infark miokard atau angina pectoris, aritmia berat; hipertensi yang disertai dengan penyakit nadi koroner, payah jantung, insufisiensi ginjal; penyakit katup jantung dan penyakit jantung.
2. Penyakit paru
Kemunduran kesehatan dan kematian pada pembedahan dipengaruhi oleh penyakit akut dan kronis pada saluran pernapasan. Penderita diatas usia 60 tahun dan penderita yang menderita penyakit paru kronis harus menjalani test fungsi mekanis paru (kapasitas vital dan volume ekspirasi yang dipaksakan) dan penentuan gas darah menjelang pembedahan.
Keadaan pernapasan akut yang mempengaruhi resiko pembedahan terutama adalah infeksi, setiap infeksi pada pernapasan (misalnya faringitis, bronchitis, pneumonitis) merupakan kontradiksi pembedahan elektif dan harus diobati selama 1-2 minggu sebelum pembedahan yang dilakukan.
Sebagian besar keadaan pernapasan yang memberikan resiko yang nyata bersifat kronis dan meliputi beberapa tingkatan obstruksi saluran pernapasan, bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma merupakan gangguan yang sering dijumpai dewasa ini. Merokok merupakan sebab umum dari penyakit ini dan merokok sendiri adalah suatu faktor resiko yang nyata.
3. Penyakit ginjal
4. Gangguan hemostatis
Pasien yang sudah pernah mengalami kelainan hemostatik dewasa ini lebih sering menjalani pembedahan dibandingkan dangan masa lalu. Kadang-kadang tanda pertama kelainan hemostatik adalah pendarahan berlebihan pada saat pembedahan.
Gangguan pembekuan :
Dapat bersifat konegenital, akuesita, atau dapat disebabkan oleh obat antikoagulansia.
1. Kelainan bawaan. Hemophilia dan penyakit von Willebrand sejauh ini merupakan penyakit hemostatik bawaan yang paling sering ditemukan. Hemophilia hanya terjadi pada pria yang ditandai dengan pendarahan jaringan dalam (hemartrosis, hematoma otot, pendarahan retroperitoneal, dan sebagainya), spontan atau sesudah trauma minimal. Sedangkan penyakit von Willebrand adalah kelainan pembekuan dan trombosit yang ditandai dengan pendarahan dan purpura pada selaput lender dan kulit, menyerupai pasien yang menderita trombositopenia.
2. Kelainan akuesita. Penyakit hati adalah penyebab tersering kelainan pembekuan akuesita. Pasien yang menderita penyakit hati, mereka yang kekurangan vitamin K dan yang mendapat antikoagulansia oral, semuanya menderita kelainan pembekuan yang sama.
3. Antikoagulansia. Kebanyakan pasien yang mendapat terapi antikoagulansia kronis diobati dengan salah satu derivate koumarin, biasanya natrium warfarin. Obat ini menghambat faktor pembekuan II, VII, IX, dan X yang tergantung pada vitamin K. Efek antikoagulansia dapat dilawan dengan cepat bila vitamin K diberikan secara parental.
4. Gangguan trombosit. Yang termasuk gangguan trombosit adalah trombositopenia yang disebabkan oleh peningkatan kerusakan trombosit atau produksi trombosit yang berkurang; trombositosis yaitu jumlah trombosit lebih besar daripada 600.000/mm3; dan gangguan trombosit kualitatif yang dirumuskan sebagai kelainan pada fungsi trombosit dengan jumlah trombosit yang normal.
5. Gangguan endokrin: Diabetes mellitus
6. Kehamilan.
LUKA BAKAR
DEFINISI
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal), atau radiasi (radiation).
DIAGNOSIS
Diagnosis luka bakar harus meliputi:
1. Etiologi
2. Derajat luka bakar
3. Luas luka bakar
ETIOLOGI
Luka bakar dikategorikan menurut mekanisme injurinya meliputi :
1. Luka Bakar Termal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.
2. Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
3. Luka Bakar Elektrik
Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
4. Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
DERAJAT LUKA BAKAR
1. Superficial (derajat I), dengan ciri sbb:
• Hanya mengenai lapisan epidermis.
• Luka tampak pink cerah sampai merah (eritema ringan sampai berat).
• Kulit memucat bila ditekan.
• Edema minimal.
• Tidak ada blister.
• Kulit hangat/kering.
• Nyeri / hyperethetic
• Nyeri berkurang dengan pendinginan.
• Discomfort berakhir kira-kira dalam waktu 48 jam.
• Dapat sembuh spontan dalam 3-7 hari.
2. Partial thickness (derajat II), dengan ciri sbb.:
• Partial tihckness dikelompokan menjadi 2, yaitu superpicial partial thickness dan deep partial thickness.
• Mengenai epidermis dan dermis.
• Luka tampak merah sampai pink
• Terbentuk blister
• Edema
• Nyeri
• Sensitif terhadap udara dingin
• Penyembuhan luka : Superficial partial thickness : 14 – 21 hari, Deep partial thickness : 21 – 28 hari
3. Full thickness (derajat III), dengan ciri sbb :
• Mengenai semua lapisan kulit, lemak subcutan dan dapat juga mengenai permukaan otot, dan persarafan dan pembuluh darah.
• Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat atau hitam.
• Tanpa ada blister.
• Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras.
• Edema.
• Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri.
• Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan.
• Memerlukan skin graft.
• Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jika tidak dilakukan tindakan preventif.
4. Fourth degree (derajat IV)
• Mengenai semua lapisan kulit, otot dan tulang.
FAKTOR RESIKO
Efek Patofisiologi Luka Bakar Pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh (TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri.
Injuri luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh, seperti :
1. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalmi injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes (to seep) kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai memberan sel menyebabkan sodium masuk dan potassium keluar dari sel.
Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracellular dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml.
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac outuput kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
2. Sistem Renal dan Gastrointestinal
Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunnya GFR (glomerular filtration rate), yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal dan disfungsi gastrointestia pada klien dengan luka bakar yang lebih dari 25 %.
3. Sistem Imun
Fungsi sistem immune mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
4. Sistem Respiratori
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan penurunan kadar oksigen arteri dan “lung compliance”.
1. Smoke Inhalation.
Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmoner yang seringkali berhubungan dengan injuri akibat jilatan api. Kejadian injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari 30 % untuk injuri yang diakibatkan oleh api.
Manifestasi klinik yang dapat diduga dari injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan pembengkakan pada oropharynx atau nasopharynx, rambut hidung yang gosong, agitasi atau kecemasan, tachipnoe, kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk. Bronchoscopy dan Scaning paru dapat mengkonfirmasikan diagnosis.
Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang dihirup.
2. Keracunan Carbon Monoxide.
CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan terhirupnya CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversibel berikatan dengan hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar COHb dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum darah.
MANAGEMENT
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah mengalami luka bakar menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat bertanggung jawab untuk mengembangkan rencana perawatan yang didasarkan pada pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan psikososial klien dan keluarga atau orang lain yang dianggap penting.
Diagnosa keperawatan, tujuan dan intervensinya dapat dilihat pada rencana perawatan di halaman lainnya. Secara klinis klien luka bakar dapat dibagi kedalam 3 fase, yaitu : 1) Fase emergent dan resusitasi 2) Fase acut dan 3) Fase Rehabilitasi. Berikut ini akan diuraikan sekilas tentang fase tersebut.
1. Fase Emergent (Resusitasi)
Fase emergensi dimulai pada saat terjadinya injury dan diakhiri dengan membaiknya permeabilitas kapiler, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah injury. Tujuan utama pemulihan selama fase ini adalah untuk mencegah shock hipovolemik dan memelihara fungsi dari organ vital. Yang termasuk ke dalam fase emergensi adalah (a) perawatan sebelum di rumah sakit, (b) penanganan di bagian emergensi dan (c) periode resusitasi.
a. Perawatan sebelum di rumah sakit (pre-hospital care)
Perawatan sebelum klien dibawa ke rumah sakit dimulai pada tempat kejadian luka bakar dan berakhir ketika sampai di institusi pelayanan emergensi. Pre-hospital care dimulai dengan memindahkan atau menghindarkan klien dari sumber penyebab LB dan atau menghilangkan sumber panas.
Perawatan klien luka bakar sebelum di rumah sakit meliputi :
1. Jauhkan penderita dari sumber LB
- Padamkan pakaian yang terbakar
- Hilangkan zat kimia penyebab LB
- Siram dengan air sebanyak-banyaknya bila karena zat kimia
- Matikan listrik atau buang sumber listrik dengan menggunakan objek yang kering dan tidak menghantarkan arus (nonconductive)
2. Kaji ABC (airway, breathing, circulation):
- Perhatikan jalan nafas (airway)
- Pastikan pernafasan (breathing) adekwat
- Kaji sirkulasi
3. Kaji trauma yang lain
4. Pertahankan panas tubuh
5. Perhatikan kebutuhan untuk pemberian cairan intravena
6. Transportasi (segera kirim klien ka rumah sakit)
b. Penanganan dibagian emergensi
Perawatan di bagian emergensi merupakan kelanjutan dari tindakan yang telah diberikan pada waktu kejadian. Jika pengkajian dan atau penanganan yang dilakukan tidak adekuat, maka pre hospital care di berikan di bagian emergensi. Penanganan luka (debridemen dan pembalutan) tidaklah diutamakan bila ada masalah-masalah lain yang mengancam kehidupan klien, maka masalah inilah yang harus diutamakan.
(1) Penanganan Luka Bakar Ringan
Perawatan klien dengan LB ringan seringkali diberikan dengan pasien rawat jalan. Dalam membuat keputusan apakah klien dapat dipulangkan atau tidak adalah dengan memperhatiakn antara lain : 1) kemampuan klien untuk dapat menjalankan atau mengikuti intruksi-instruksi dan kemampuan dalam melakukan perawatan secara mandiri (self care), 2) lingkungan rumah. Apabila klien mampu mengikuti instruksi dan perawatan diri serta lingkungan di rumah mendukung terjadinya pemulihan maka klien dapat dipulangkan.
Perawatan di bagian emergensi terhadap luka bakar minor meliputi : menagemen nyeri, profilaksis tetanus, perawatan luka tahap awal dan pendidikan kesehatan.
a) Managemen nyeri
Managemen nyeri seringkali dilakukan dengan pemberian dosis ringan morphine atau meperidine dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oral diberikan untuk digunakan oleh pasien rawat jalan.
b) Profilaksis tetanus
Petunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita LB baik yang ringan maupun tipe injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat imunisasi tetanus tetapi tidak dalam waktu 5 tahun terakhir dapat diberikan boster tetanus toxoid. Untuk klien yang tidak diimunisasi dengan tetanus human immune globulin dan karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama dari serangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid.
c) Perawatan luka awal
Perawatan luka untuk LB ringan terdiri dari membersihkan luka (cleansing) yaitu debridemen jaringan yang mati; membuang zat-zat yang merusak (zat kimia, tar, dll); dan pemberian/penggunaan krim atau salep antimikroba topikal dan balutan secara steril. Selain itu juga perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan tentang perawatan luka di rumah dan manifestasi klinis dari infeksi agar klien dapat segera mencari pertolongan. Pendidikan lain yang diperlukan adalah tentang pentingnya melakukan latihan ROM (range of motion) secara aktif untuk mempertahankan fungsi sendi agar tetap normal dan untuk menurunkan pembentukan edema dan kemungkinan terbentuknya scar. Dan perlunya evaluasi atau penanganan follow up juga harus dibicarakan dengan klien pada waktu itu.
d) Pendidikan / penyuluhan kesehatan
Pendidikan tentang perawatan luka, pengobatan, komplikasi, pencegahan komplikasi, berbagai fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat yang dapat di kunjungi jika memerlukan bantuan dan informasi lain yang relevan perlu dilakukan agar klien dapat menolong dirinya sendiri.
(2) Penanganan Luka Bakar Berat
Untuk klien dengan luka yang luas, maka penanganan pada bagian emergensi akan meliputi reevaluasi ABC (jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi ) dan trauma lain yang mungkin terjadi; resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang); pemasangan kateter urine; pemasangan nasogastric tube (NGT); pemeriksaan vital signs dan laboratorium; management nyeri; propilaksis tetanus; pengumpulan data; dan perawatan luka.
Berikut adalah penjelasan dari tiap-tiap penanganan tersebut, yakni sebagai berikut.
a) Reevaluasi jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi dan trauma lain yang mungkin terjadi.
Menilai kembali keadaan jalan nafas, kondisi pernafasan, dan sirkulasi unutk lebih memastikan ada tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan secara dini. Selain itu melakukan pengkajian ada tidaknya trauma lain yang menyertai cedera luka bakar seperti patah tulang, adanya perdarahan dan lain-lain perlu dilakukan agar dapat dengan segera diketahui dan ditangani.
b) Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang)
Bagi klien dewasa dengan luka bakar lebih dari 15 %, maka resusitasi cairan intravena umumnya diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat diberikan melaui kulit yang tidak terbakar pada bagian proximal dari ekstremitas yang terbakar. Sedangkan untuk klien yang mengalami luka bakar yang cukup luas atau pada klien dimana tempat-tempat untuk pemberian intravena perifer terbatas, maka dengan pemasangan kanul (cannulation) pada vena central (seperti subclavian, jugular internal atau eksternal, atau femoral) oleh dokter mungkin diperlukan. Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan dan kemudian dilanjutkan dengan resusitasi cairan.
Periode resuscitasi dimulai dengan tindakan resusitasi cairan dan diakhiri bila integritas kapiler kembali mendekati keadaan normal dan perpindahan cairan yang banyak mengalami penurunan.
Resusitasi cairan dimulai untuk meminimalkan efek yang merusak dari perpindahan cairan. Tujuan resuscitasi cairan adalah untuk mempertahankan ferfusi organ vital serta menghindari komlikasi terapi yang tidak adekuat atau berlebihan. Terdapat beberapa formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan seperti tampak dalam tabel diatas.
Banyaknya/jumlah cairan yang pasti didasarkan pada berat badan klien dan luasnya injury luka bakar. Faktor lain yang menjadi pertimbangan meliputi adalah adanya inhalasi injuri, keterlambatan resusitasi awal, atau kerusakan jaringan yang lebih dalam. Faktor-faktor ini cenderung meningkatkan jumlah/banyaknya cairan intravena yang dibutuhkan untuk resusitasi adekuat di atas jumlah yang telah dihitung. Dengan pengecualian pada formula Evan dan Brooke, cairan yang mengandung colloid tidak diberikan selama periode ini karena perubahan-perubahan pada permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran cairan yang banyak mengandung protein kedalam ruang interstitial, sehingga meningkatkan pembentukan edema. Selama 24 jam kedua setelah luka bakar, larutan yang mengandung colloid dapat diberikan, dengan dextrose 5% dan air dalam jumlah yang bervariasi.
Sangat penting untuk diingat bahwa senmua formula resusitasi yang ada hanyalah sebagai alat bantu dan harus disesuaikan dengan respon fisiologis klien. Keberhasilan atau keadekuatan resusitasi cairan pada orang dewasa ditandai dengan stabilnya vital signs, adekuatnya output urine, dan nadi perifer yang dapat diraba.
c) Pemasangan kateter urine
Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap jam. Output urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan dari resusitasi cairan.
d) Pemasangan nasogastric tube (NGT)
Pemasangan NGT bagi klien LB 20 % -25 % atau lebih perlu dilakukan untuk mencegah emesis dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi. Disfungsi ganstrointestinal akibat dari ileus dapat terjadi umumnya pada klien tahap dini setelah luka bakar. Oleh karena itu semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi pada waktu itu.
e) Pemeriksaan vital signs dan laboratorium
Vital signs merupakan informasi yang penting sebagai data tambahan untuk menentukan adekuat tidaknya resuscitasi. Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi pemeriksaan gula darah, BUN (blood ures nitrogen), creatini, elektrolit serum, dan kadar hematokrit. Kadar gas darah arteri (analisa gas darah), COHb juga harus diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes laboratorium lainnya adalah pemeriksaan x-ray untuk mengetahui adanya fraktur atau trauma lainnya mungkin perlu dilakukan jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus menerus haruslah dilakukan pada semua klien dengan LB berat, khususnya jika disebabkan oleh karena listrik dengan voltase tinggi, atau pada klien yang mempunyai riwayat iskemia jantung atau dysrhythmia.
f) Management nyeri
Penanganan nyeri dapat dicapai melalui pemberian obat narcotik intravena, seperti morphine. Pemberian melalui intramuskuler atai subcutan tidak dianjurkan karena absorbsi dari jaringan lunak tidak cukup baik selama periode ini bila hipovolemia dan perpindhan cairan yang banyak masih terjadi. Demikian juga pemberian obat-obatan untuk mengatasi secara oral tidak dianjurkan karena adanya disfungsi gastrointestial.
g) Propilaksis tetanus
Propilaksis tetanus pada klien LB adalah sama, baik pada luka bakar berat maupun luka bakar yang ringan.
h) Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan tanggung jawab yang sangat penting bagi team yang berada di ruang emergensi. Kepada klien atau yang lainnya perlu ditanyakan tentang kejadian kecelakaan LB tersebut. Informasi yang diperlukan meliputi waktu injuri, tingkat kesadaran pada waktu kejadian, apakah ketika injuri terjadi klien berada di ruang tertutup atau terbuka, adakah truma lainya, dan bagaimana mekanisme injurinya. Jika klien terbakar karena zat kimia, tanyak tentang zat kimia apa yang menjadi penyebabnya, konsentrasinya, lamanya terpapar dan apakah dilakuak irigari segera setelah injuri. Sedangkan jika klien menderita LB karena elektrik, maka perlu ditanyakan tentang sumbernya, tipe arus dan voltagenya yang dapat digunakan untuk menentukan luasnya injuri. Informasi lain yang diperlukan adalah tentang riwayat kesehatan klien masa lalu seperti kesehatan umum klien. Informasi yang lebih khusus adalah berkaitan dengan penyakit-penyakit jantung, pulmoner, endokrin dan penyakit ginjal karena itu semua mempunyai implikasi terhadap treatment. Disamping itu perlu pula diketahui tentang riwayat alergi klien, baik terhadap obat maupun yang lainnya.
i) Perawatan luka
Luka yang mengenai sekeliling ekstremitas dan torak dapat mengganggu sirkulasi dan respirasi, oleh karena itu harus mendapat perhatian. Komplikasi ini lebih mudah terjadi selama resusitasi, bila cairan berpindah ke dalam jaringan interstitial berada pada puncaknya. Pada LB yang mengenai sekeliling ekstremitas, maka meninggikan bagian ekstremitas diatas jantung akan membantu menurunkan edema dependen; walaupun demikian gangguan sirkulasi masih dapat terjadi. Oleh karena pengkajian yang sering terhadap perfusi ekstremitas bagian distal sangatlah penting untuk dilakukan.
Escharotomy merupakan tindakan yang tepat untuk masalah gangguan sirkulasi karena LB yang melingkari bagian tubuh. Seorang dokter melaukan insisi terhadap eschar yang akan mengurangi/menghilangkan konstriksi sirkulasi. Umumnya dilakukan ditempat tidur klien dan tanpa menggunakan anaetesi karena eschar tidak berdarah dan tidak nyeri. Namun jaringan yang masih hidup dibawah luka dapat berdarah. Jika perfusi jaringan adekuat tidak berhasil, maka dapat dilakukan fasciotomy. Prosedur ini adalah menginsisi fascia, yang dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi.
Demikian juga, escharotomy dapat dilakukan pada luka bakar yang mengenai torak untuk memperbaiki ventilasi. Setelah dilakukan tindakan escharotomy, maka perawat perlu melakukan monitoring terhadap perbaikan ventilasi.
Perawatan luka dibagian emergensi terdiri-dari penutupan luka dengan sprei kering, bersih dan baju hangat untuk memelihara panas tubuh. Klien dengan luka bakar yang mengenai kepala dan wajah diletakan pada posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas yang terbakar dengan menggunakan bantal sampai diatas permukaan jantung. Tindakan ini dapat membantu menurunkan pembentukan edema dependent. Untuk LB ringan kompres dingin dan steril dapat mengatasi nyeri. Kemudian dibawa menuju fasilitas kesehatan.
2. Fase Akut
Fase akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil, permeabilitas kapiler membaik dan diuresis telah mulai. Fase ini umumnya dianggap terjadi pada 48-72 jam setelah injuri.
Fokus management bagi klien pada fase akut adalah sebagai berikut : mengatasi infeksi, perawatan luka, penutupan luka, managemen nyeri, dan terapi fisik.
a. Mengatasi infeksi
Kegiatan khusus untuk mengatasi infeksi dan tehnik isolasi harus dilakukan pada semua pusat-pusat perawatan LB. Kegiatan ini berbeda dan meliputi penggunaan sarung tangan, tutp kepala, masker, penutup kaki, dan pakaian plastik. Membersihkan tangan yang baik harus ditekankan untuk menurunkan insiden kontaminasi silang diantara klien. Staf dan pengunjung umumnya dicegah kontak dengan klien jika ia menderita infeksi baik pada kulit, gastrointestinal atau infeksi saluran nafas.
b. Perawatan luka
Perawatan luka diarahkan untuk meningkatkan penyembuhan luka. Perawatan luka sehari-hari meliputi membersihkan luka, debridemen, dan pembalutan luka.
1) Hidroterapi
Membersihkan luka dapat dilakukan dengan cara hidroterapi. Hidroterapi ini terdiri dari merendam (immersion) dan dengan shower (spray). Tindakan ini dilakukan selama 30 menit atau kurang untuk klien dengan LB acut. Jika terlalu lama dapat meningkatkan pengeluaran sodium (karena air adalah hipotonik) melalui luka, pengeluaran panas, nyeri dan stress. Selama hidroterapi, luka dibersihkan secara perlahan dan atau hati-hati dengan menggunakan berbagai macam larutan seperti sodium hipochloride, providon iodine dan chlorohexidine. Perawatan haruslah mempertahankan agar seminimal mungkin terjadinya pendarahan dan untuk mempertahankan temperatur selama prosedur ini dilakukan. Klien yang tidak dianjurkan untuk dilakukan hidroterapi umumnya adalah mereka yang secara hemodinamik tidak stabil dan yang baru dilakukan skin graft. Jika hidroterapi tidak dilakukan, maka luka dapat dibersihkan dan dibilas di atas tempat tidur klien dan ditambahkan dengan penggunaan zat antimikroba.
2) Debridemen
Debridemen luka meliputi pengangkatan eschar. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan penyembuhan luka melalui pencegahan proliferasi bakteri di bagian bawah eschar. Debridemen luka pada LB meliputi debridemen secara mekanik, debridemen enzymatic, dan dengan tindakan pembedahan.
a) Debridemen mekanik
Debridemen mekanik yaitu dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan gunting dan forcep untuk memotong dan mengangkat eschar. Penggantian balutan merupakan cara lain yang juga efektif dari tindakan debridemen mekanik. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan balutan basah ke kering (wet-to-dry) dan pembalutan kering kepada balutan kering (wet-to-wet). Debridemen mekanik pada LB dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan tindakan untuk mengatasi nyeri yang lebih efektif.
b) Debridemen enzymatic
Debridemen enzymatik merupakan debridemen dengan menggunakan preparat enzym topical proteolitik dan fibrinolitik. Produk-produk ini secara selektif mencerna jaringan yang necrotik, dan mempermudah pengangkatan eschar. Produk-prduk ini memerlukan lingkungan yang basah agar menjadi lebih efektif dan digunakan secara langsung terhadap luka. Nyeri dan perdarahan merupakan masalah utama dengan penanganan ini dan harus dikaji secara terus-menerus selama treatment dilakukan.
c) Debridemen pembedahan
Debridemen pembedahan luka meliputi eksisi jaringan devitalis (mati). Terdapat 2 tehnik yang dapat digunakan : Tangential Excision dan Fascial Excision. Pada tangential exccision adalah dengan mencukur atau menyayat lapisan eschar yang sangat tipis sampai terlihat jaringan yang masih hidup. sedangkan fascial excision adlaah mengangkat jaringan luka dan lemak sampai fascia. Tehnik ini seringkali digunakan untuk LB yang sangat dalam.
3) Balutan
a) Penggunaan penutup luka khusus
Luka bakar yang dalam atau full thickness pada awalnya dilakukan dengan menggunakan zat/obat antimikroba topikal. Obat ini digunakan 1 – 2 kali setelah pembersihan, debridemen dan inspeksi luka. Perawat perlu melakukan kajian terhadap adanya eschar, granulasi jaringan atau adanya reepitelisasi dan adanya tanda-tanda infeksi. Umumnya obat-obat antimikroba yang sering digunakan tampak pada tabel dibawah. Tidak ada satu obat yang digunakan secara umum, oleh karena itu dibeberapa pusat pelayanan luka bakar ada yang memilih krim silfer sulfadiazine sebagai pengobatan topikal awal untuk luka bakar.
b) Metode terbuka dan tertutup
Luka pada LB dapat ditreatmen dengan menggunakan metode/tehnik belutan baik terbuka maupun tertutup. Untuk metode terbuka digunakan/dioleskan cream antimikroba secara merata dan dibiarkan terbuka terhadap udara tanpa dibalut. Cream tersebut dapat diulang penggunaannya sesuai kebutuhan, yaitu setiap 12 jam sesuai dengan aktivitas obat tersebut. kelebihan dari metode ini adalah bahwa luka dapat lebih mudah diobservasi, memudahkan mobilitas dan ROM sendi, dan perawatan luka menjadi lebih sederhana/mudah. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah meningkatnya kemungkinan terjadinya hipotermia, dan efeknya psikologis pada klien karena seringnya dilihat.
Pada perawatan luka dengan metode tertutup, memerlukan bermacam-macam tipe balutan yang digunakan. Balutan disiapkan untuk digunakan sebagai penutup pada cream yang digunakan. Dalam menggunakan balutan hendaknya hati-hati dimulai dari bagian distal kearah proximal untuk menjamin agar sirkulasi tidak terganggu. Keuntungan dari metode ini adalah mengurangi evavorasi cairan dan kehilangan panas dari permukaan luka , balutan juga membantu dalam debridemen. Sedangkan kerugiannya adalah membatasi mobilitas menurunkan kemungkinan efektifitas exercise ROM. Pemeriksaan luka juga menjadi terbatas, karena hanya dapat dilakukan jika sedang mengganti balutan saja.
c. Penutupan luka
1) Penutupan Luka Sementara
Penutupan luka sementara sering digunakan sebagai pembalut luka.
2) Pencangkokan kulit
Pencangkokan kulit yang berasal dari bagian kulit yang utuh dari penderita itu sendiri (autografting) adalah pembedahan dengan mengangkat lapisan kulit tipis yang masih utuh dan kemudian digunakan pada luka bakar yang telah dieksisi. Prosedur ini dilakukan di ruang operasi dengan pemberian anaetesi.
d. Managemen nyeri
Faktor fisiologis yang yang dapat mempengaruhi nyeri meliputi kedalaman injuri, luasnya dan tahapan penyembuhan luka. Untuk tipe luka bakar partial thickness dan pada tempat donor akan terasa sangat nyeri akibat stimulasi pada ujung-ujung saraf. Berlawanan halnya dengan luka bakar full thickness yang tidak mengalami rasa nyeri karena ujung-ujung superficial telah rusak. namun demikian ujung-ujung saraf pada yang terletak pada bagian tepi dari luka akan sangat sensitif. Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri adalah kecemasan, ketakutan dan kemampuan klien untuk menggunakan kopingnya. Sedangkan faktor-faktor sosial meliputi pengalaman masa lalu tentang nyeri, kepribadian, latar belakang keluarga, dan perpisahan dengan keluarga dan rumah. Dan perlu diingat bahwa persepsi nyeri dan respon terhadap stimuli nyeri bersifat individual oleh karena itu maka rencana penanganan perawatan dilakukan secara individual juga.
Pendekatan yang lebih sering digunakan untuk mengatasi rasa nyeri adalah dengan menggunakan zat-zat farmakologik. Morphine, codein, meperidine adalah nanalgetik narkotik yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri yang berkaitan dengan LB dan treatmennya. Obat-obat farmakologik lainnya yang dapat digunakan meliputi analgesik inhalasi seperti nitrous oxide, dll. Obat antiinflamasi nonsteroid juga dianjurkan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang.
Sedangkan tindakan Nonfarmakologik yang digunakan untuk mengatasi rasa nyeri yang berkaitan dengan luka bakar meliputi hipnotis, guided imagery, terapi bermain, tehnik relaksasi, distraksi, dan terapi musik. Tindakan ini efektif untuk menurunkan kecemasan dan menurunkan persepsi terhadap rasa nyeri dan seringali digunakan bersamaan dengan penggunaan obat-obat farmakologik.
e. Terapi fisik
Mempertahankan fungsi fisik yang optimal pada klien dengan injuri LB merupakan tantangan bagi team yang melakukan perawatan LB. Perawat harus bekerja secara teliti dengan fisioterapist dan occupational terapist untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan rehabilitasi klien LB. Program-program exercise, ambulasi, aktifitas sehari-hari harus diimplementasikan secara dini pada pemulihan fase acutsampai perbaikan fungsi secara maksimal dan perbaikan kosmetik.
Kontraktur luka dan pembentukan scar (parut) merupakan dua masalah utama pada klien LB. Kontraktur akibat luka dapat terjadi pada luka yang luas. Lokasi yang lebih mudah terjadinya kontraktur adalah tangan, kepala, leher, dan axila.
3. Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah fase pemulihan dan merupakan fase terakhir dari perawatan luka bakar. Penekanan dari program rehabilitasi penderita luka bakar adalah untuk peningkatan kemandirian melalui pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal. Tindakan-tindakan untuk meningkatkan penyembuhan luka, pencegahan atau meminimalkan deformitas dan hipertropi scar, meningkatkan kekuatan dan fungsi dan memberikan support emosional serta pendidikan merupakan bagian dari proses rehabilitasi.
Rehabilitasi psikologis adalah sama pentingnya dengan rehabilitasi fisik dalam keseluruhan proses pemulihan. Banyak sekali respon psikologis dan emosional terhadap injuri luka bakar yang dapat diidentifikasi, mulai dari “ketakutan sampai dengan psikosis” . Respon penderita dipengaruhi oleh usia, kepribadian (personality), latar belakang budaya dan etnic, luas dan lokasi injuri, dan akibatnya pada body image. Disamping itu, berpisah dari keluarga dan teman-teman, perubahan pada peran normal klien dan tanggungjawabnya mempengaruhi reaksi terhadap trauma LB.
Fokus perawatan adalah pada upaya memaksimalkan pemulihan psikososial klien melalui intervensi yang tepat. (lihat Rencana Perawatan).
Terdapat 4 tahap respon psikososial akibat trauma LB yang ditandai oleh : impact; retreat or withdrawal (kemunduran atau menarik diri); acknowledgement (menerima) dan reconstructive (membangun kembali).
a. Impact
Periode impact terjadi segera setelah injuri yang ditandai oleh shock, tidak percaya (disbelieve), perasaan overwhelmed. Klien dan keluarga mungkin menyadari apa yang terjadi tetapi kopingnya pada waktu itu buruk. Pada penelitian yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa keluarga dengan klien yang sakit kritis mempunyai kebutuhan untuk kepastian (assurance), kebutuhan untuk dekat dengan anggota keluarga yang lain dan kebutuhan akan informasi. Lebih spesifik lagi keluarga ingin mengetahui kapan anggota keluarganya dapat ditangani, apa yang akan dilakukan terhadap klien/anggota keluarganya, fakta-fakta tentang perkembangan/kemajuan klien, dan mengapa tindakan/prosedur dilakukan terhadap klien.
b. Retreat or withdrawal (kemunduran atau menarik diri)
Kemunduran (retreat) ditandai oleh represi, menarik diri (withdrawal), pengingkaran/penolakan (denial) dan supresi.
c. Acknowledgement (menerima)
Fase ketiga adalah menerima, dimulai bila klien menerima injuri dan perubahan gambaran tubuh (body image). Selama fase ini klien dapat mengambil manfaat dari pertemuanya dengan klien luka bakar lainnya, baik dalam kontak perorangan maupun dengan kelompok.
d. Reconstructive (membangun kembali)
Fase terakhir adalah fase rekonstruksi, dimulai bila klien dan keluarga menerima keterbatasan yang ada akibat injuri dan mulai membuat perencanaan masa datang.
PENCEGAHAN LUKA BAKAR
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah erjadinya luka bakar bagi anak-anak di rumah :
I. Di Dapur
• Jauhkan anak-anak dari oven dan pemanggang. Ciptakan zona larangan di sekitarnya untuk anak-anak.
• Jauhkan makanan dan minuman panas dari jangkauan anak-anak. Jangan pernah membawa makanan panas dan minuman panas dengan satu tangan dengan ketika ada anak-anak di sekitar kita.
• Jangan masukkan botol susu anak ke dalam mikrowave, karena dapat menimbulkan daerah yang panas.
• Cicipi setiap makanan yang akan dihidangkan.
• Singkirkan taplak meja menjuntai ketika di rumah ada anak yang sedang belajar merangkak.
• Jauhkan dan tempat penyimpanan bahan kimia (pemutih, amonia) yang dapat menyebabkan luka bakar kimia.
• Simpan korek api, lilin jauh dari jangkauan. Jangan pernah biarkan lilin menyala tanpa pengawasan.
• Beli alat-alat listrik dengan kabel yang pendek dan tidak mudah lepas atau menggantung.
2. Di Kamar mandi
• Jauhkan blow dryer, curling irons dari jangkauan anak.
• Pastikan termostat pemanas air pada suhu 120°F (48,8°C) atau lebih rendah. Umumnya air panas untuk anak sebaiknya suhunya tidak lebih dari 100°F (37,7°C). Jangan biarkan anak bermain degan keran atau shower.
3. Di setiap ruangan
• Tutup setiap tempat yang dapat dipakai untuk menusukkan kabel listrik.
• Jauhkan anak dari pemanas ruangan, radiator, tempat yang berapi.
• Pasang detektor asap dan periksa baterai minimal satu tahun/kali.
KOMA
DEFINISI
Koma (dari Bahasa Yunani yang berarti "tidur nyenyak") dalam dunia kedokteran, adalah suatu kondisi hilang sadar yang sangat dalam. Pasien koma tidak dapat dibangunkan, tidak memberikan respons normal terhadap rasa sakit atau rangsangan cahaya, tidak memiliki siklus tidur-bangun, dan tidak dapat melakukan tindakan sukarela. Koma dapat timbul karena berbagai kondisi, termasuk keracunan, keabnormalan metabolik, penyakit sistem saraf pusat, serta luka neorologis akut seperti stroke dan hipoksia. Koma juga dapat secara sengaja ditimbulkan oleh agen farmasentika untuk mempertahankan fungsi otak setelah timbulnya trauma otak lain.
Kira-kira 10% kasus-kasus gawat darurat yang dijumpai dalam praktek sehari-hari di RSU adalah kasus gawat darurat saraf dan tersering (3%) adalah koma. Maka penyakit saraf mempunyai reputasi dalam penanganan kasus-kasus gawat darurat.
Gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat, yang dapat membahayakan kehidupan. Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi utamanya mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat disebabkan karena beraneka ragam penyebab baik primer intrakranial ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural/metabolik di tingkat korteks serebri, batang otak ataupun keduanya. Tergantung pada kerusakannya, gejala utama yang timbul dapat berupa : obtundasi, stupor, semicoma dan coma.
Penanggulangan koma sangat tergantung pada patologi dasarnya serta patofisiologi gangguan kesadaran. Hal ini sangat sulit apalagi jika riwayat penyakit dan perkembangan gejala fisik sebelumnya tak jelas diketahui.
PATOFISIOLOGI
Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :
1. Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran.
2. Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinue antara fungsi korteks serebri termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan Ascending Reticular Activating System (ARAS) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. Karena ARAS terletak sebagian diatas tentorium serebri dan sebagian lagi dibawahnya, maka ada 3 mekanisme patofisiologi timbulnya koma :
a. Koma Supratentorial
* Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedangkan batang otak tetap normal. Ini disebabkan proses metabolik.
* Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya masa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur disekitarnya, terjadilah :
ᵜ Herniasi Girus Singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.
ᵜ Herniasi Transtentorial/Sentral
Adalah basil akhir dari proses desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah tentorium.
ᵜ Herniasi Unkus
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisa lateral fossa kranii media atau lobus temporalis; lobus temporalis memdesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan di mesensefalon ipsilateral, kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.
b. Koma Infratentorial
Ada 2 macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma :
1. Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.
2. Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.
• Langsung menekan pons
• Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
• Hermiasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan medula oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya.
c. Koma Metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan kegagalan difus dari hemisfer sereori. Koma disebabkan kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
Ensefalopati Metabolik Primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
Ensefalopati Metabolik Sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistem motorik simetris dan tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).
DIAGNOSIS
1. Riwayat penyakit
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
3. Pemeriksaan laboratorium
4. CTScan kepala
5. MRI kepala
6. Punksi lumbal
7. Aspirasi dan analisis cairan lambung
8. Analisis chromatografi darah dan urine
9. Pengukuran obat-obat dalam darah : antikonvulsan, opiat, diazepin, barbiturat, alkohol, zat toksik lainnya.
PEMBAGIAN DERAJAT KESADARAN
Koma bukan penyakit melainkan hanya sebuah gejala, cermin dari proses kerusakan otak berat yang setiap saat berubah-ubah; oleh karena itu diperlukan pengamatan serial dari waktu ke waktu. Koma adalah suatu keadaan tidak ada respon dengan rangsangan nyeri kuatpun. Agar penilaian derajat kesadaran dapat lebih objektif, Jenet dan Teasdale (1974) memasyarakatkan Skala Koma Glasgow (SKG). Pada SKG ini, dimulai kemampuan pasien untuk memperlihatkan 3 tes fungsi saraf, yaitu : respon membuka mata, respon motorik dan respon verbal. Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga hasil tes.
Tingkat kesadaran kuantitatif Skala Koma Glasgow (SKG) :
1. EYE (MATA)
Membuka mata spontan = 4
Membuka mata dengan stimulus = 3
Membuka mata dengan stimulus = 2
Tak dapat membuka = 1
2. MOTOR (REAKSI MOTORIK)
Mengikuti perintah = 6
Melokalisir nyeri = 5
Menghindari nyeri = 4
Reaksi fleksi = 3
Reaksi ekstensi = 2
Tak ada reaksi = 1
3. VERBAL (SUARA)
Orientasi baik = 5
Gelisah (confused) = 4
Kata tak jelas (inappropriate) = 3
Suara yang tidak jelas artinya (unintelligible‐sounds) = 2
Tak ada suara= 1
Nilai MAKSIMUM 15
Nilai MINIMUM 3
ETIOLOGI KOMA
Secara umum stupor dan koma dapat disebabkan menjadi tiga kategori besar:
1. Kelainan struktur intrakranial (33 %)
Kebanyakan kasus ditegakkan melalui pemeriksaan imajing otak (computed tomography [CT] or magnetic resonance imaging [MRI] atau melalui lumbal punksi [LP]).
2. Kelainan metabolik atau keracunan (66%)
Dikonfirmasi melalui pemeriksaan darah, tapi tidak selalu positif.
3. Kelainan psikiatris (1%)
Stupor atau koma disebabkan oleh penyakit mempengaruhi kedua hemisfer otak atau batang otak. Lesi unilateral dari satu hemisfer tidak menyebabkan stupor atau koma kecuali massa tersebut besar hingga menekan hemisfer kontralateral atau batang otak. Koma yang disebabkan kelainan fokal di batang otak terjadi karena terganggunya reticular activating system. Kelainan metabolik dapat menyebabkan gangguan kesadaran karena efek yang luas terhadap formasio retikularis dan korteks serebral.
Tiga penyebab koma yang dapat cepat menyebabkan kematian dan dapat ditangani antara lain :
a. Herniasi dan penekanan batang otak : space ocupying lession yang menyebabkan koma merupakan keadaan emergensi bedah saraf.
b. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) : peningkatan TIK dapat menyebabkan gangguan perfusi otak dan global hypoxic-ischemic injury.
c. Meningitis atau encephalitis : kematian akibat meningitis bakterialis atau herpes encephalitis dapat dicegah dengan terapi secepatnya.
Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan penyakit melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir kontak dengan pasien dengan menanyakan :
Kejadian terakhir
Riwayat medis pasien
Riwayat psikiatrik
Obat-obatan
Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan melalui pemeriksaan fisik :
1. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.
2. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness ( keracunan CO), atau kuning
3. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
4. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
5. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan serangan kejang.
6. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) : kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
7. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi dari penyebab koma.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
1. Status generalis :
Terbukannya kelopak mata dan rahang yang lemas menandakan dalamya koma. Deviasi dari kepala dan gaze menandakan suatu lesi hemisfer ipsilateral yang luas. Myoklonus ( menandakan suatu proses metabolik), twitching otot yang ritmik (indikasi dari kejang), tetani.
2. Tingkat kesadaran :
Dapat ditentukan melalui skala koma Glasgow untuk memudahkan kita untuk mencatat perkembangan pasien. Untuk lebih mudahnya gangguan kesadaran pada pasien dapat dideskripsikan berdasarkan letargi, stupor, dan koma.
3. Pernafasan :
Pola pernafasan yang abnormal dapat membantu kita menentukan lokalisasi dari koma, yaitu :
a. Cheyne-Stokes : lesi bihemisfer atau ensefalopati merabolik
b. Central neurogenic hiperventilation : CNS limfoma atau kerusakan batang otak karena herniasi tentorial
c. Apneustic breathing : kerusakan pons
d. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
e. Ataxic breathing : kerusakan pusat pernafasarn medular (lesi di fosa posterior)
4. Lapang pandang :
Dapat diperiksa dengan melakukan refleks ancam terhadap mata sehingga berkedip. Kehilangan refleks ancam pada salah satu sisi mata menandakan terjadinya suatu hemianopia.
5. Funduskopi :
Edema papil terjadi pada peningkatan TIK setelah lebih dari 12 jam dan jarang terjadi secara akut. Tidak adanya suatu edema papil menyingkirkan adanya peningkatan TIK. Pulsasi spontan dari vena sulit diidentifikasikan, tetapi bila kita temukan menandakan TIK yang normal. Perdarahan subhialoid yang berbentuk seperti globul bercak darah pada permukaan retina biasanya berhubungan dengan terjadinya suatu perdarahan subarakhnoid.
6. Pupil :
Pastikan bentuk, ukuran, dan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya.
a. Simetris dan reaktif terhadap rangsang cahaya menandakan midbrain dalam keadaan intak. Pupil yang reaktif tanpa disertai respon dari kornea dan okulosefalik menandakan suatu keadaan koma yang disebabkan kelainan metabolik.
b. Midposition (2-5 mm) terfiksir atau pupil ireguler menandakan suatu lesi fokal di midbrain.
c. Pupil pinpoint yang reaktif menandakan kerusakan pada tingkat pons. Intoksikasi dari opiat dan kholinergik (pilokarpin) juga dapat menyebabkan pupil seperti ini.
d. Pupil anisokor dan terfiksir terjadi pada kompresi terhadap CN III pada herniasi unkus. Ptosis dan exodeviasi juga terlihat pada kejadian tersebut.
e. Pupil terfiksir dan dilatasi menandakan suatu herniasi sentral, iskemia hipoksia global, keracunan barbiturat, scopolamine, atau gluthethimide.
7. Pergerakan bola mata (gaze):
a. Perhatikan posisi saat istirahat :
i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis
ii. Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :
1. lesi di pons kontralateral hemiparesis
2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis
3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud
iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik
v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.
vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan suatu psikogenik unresponsive.
b. Refleks okulosefalik (doll’s eye), respons yang intak terjadi pergerakan bola mata berlawanan dari arah pemutaran kepala. Bila tidak terjadi refleks ini menunjukkan disfungsi dari bilateral hemisfer serebri dan gangguan integritas dari struktur batang otak, yang sering terlihat pada koma metabolik.
c. Refleks okulovestibular (kalori dingin), respons yang normal terdiri dari deviasi tonik ke arah rangsangan air dingin yang dimasukkan ke lubang telinga dan terjadi nistagmus cepat ke arah kontralateral.
i. Fase tonik tanpa disertai respons fase cepat dari nistagmus menandakan koma disebabkan disfungsi bihemisfer
ii. Paresis konjugae dari gaze menandakan lesi unilateral hemisfer atau pons
iii. Kelemahan mata asimetris menandakan lesi pada batang otak
iv. Refleks okulovestibular negatif menandakan koma yang dalam yang mendepresi fungsi batang otak.
8. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5( aferen) dan CN 7 (eferen)
9. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube.
10. Respons motorik :merupakan indikator terbaik dalam menentukan dalam dan beratnya keadaan koma. Yang diperhatikan yaitu :
a. Pergerakan spontan : lihat adanya suatu asimetri
b. Tonus otot : peningkatan tonus otot bilateral pada ekstremitas bawah merupakan tanda penting terjadinya suatu herniasi serebri.
c. Induksi pergerakan melalui :
i. Perintah verbal : normal
ii. Rangsang nyeri : dengan menggosokkan kepalan tangan pemeriksa pada sternum dan penekanan pada nailbed dengan menggunakan handel dari hammer.
11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi defisit sensoris.
12. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinski’s menunjukkan coma akibat struktural atau metabolik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis, antara lain :
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang, keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui pemeriksaan CT dan LP.
Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah kita lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut. Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus
MANAJEMEN PASIEN KOMA
1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions / SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya :
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 – 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon 2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur
TERAPI UMUM
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100 mg 3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam, penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya
PROGNOSIS
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial.
ALERGI
PENGERTIAN
Alergi adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik). Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik.
Alergi adalah juga suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperan inflamasi. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas/alergi tersebut disebut alergen. Contoh-contoh dari allergens termasuk serbuk sari, tungau, jamur-jamur, dan makanan-makanan, Ketika allergen bersentuhan dengan tubuh, dia menyebabkan sistim imun untuk mengembangkan reaksi alergi pada orang yang alergi terhadapnya. Ketika seseorang bereaksi tidak sesuai pada alergen yang umumnya tidak berbahaya pada orang-orang lain, seseorang mempunyai reaksi alergi dan dapat dirujuk sebagai alergi atau atopik. Oleh karananya, orang-orang yang cenderung mendapat alergi disebut alergi atau atopik.
Kata alergi berasal dari kata-kata Greek "allos," yang berarti berbeda atau berubah dan "ergos," berarti bekerja atau beraksi. Alergi secara garis besar dirujuk sebagai "reaksi yang berubah". Kata alergi pertama kali digunakan pada tahun 1905 untuk menggambarkan reaksi-reaksi yang merugikan dari anak-anak yang diberikan suntikan-suntikan berulang dari serum kuda untuk melawan infeksi.
Angka kejadian alergi di berbagai dunia dilaporkan meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. World Health Organization (WHO) memperkirakan di dunia diperkirakan terdapat 50 juta manusia menderita asma. Tragisnya lebih dari 180.000 orang meninggal setiap tahunnya karena astma. BBC tahun 1999 melaporkan penderita alergi di Eropa ada kecenderungan meningkat pesat. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma, 6 juta orang mempunyai dermatitis (alergi kulit). Penderita Hay Fever lebih dari 9 juta orang. Beberapa ahli alergi berpendapat bahwa 30%-50% secara genetik manusia mempunyai predisposisi untuk berkembang menjadi alergi.
Dengan kata lain mempunyai antibody Imunoglobulin E terhadap lingkungan penyebab alergi. Sejauh ini banyak orang tidak mengetahui bahwa keluhan yang dia alami itu adalah gejala alergi. Di Amerika penderita alergi makanan sekitar 2 – 2,5% pada dewasa, pada anak sekitar 6 – 8%. Setiap tahunnya diperkirakan 100 hingga 175 orang meninggal karena alergi makanan. Penyebab kematian tersebut biasanya karena syok anafilaksis (reaksi alergi berat), tersering karena kacang tanah. Lebih 160 makanan dikaitkan dengan alergi makanan. Para ahli berpendapat penderita alergi di Negara berkembang mungkin lebih banyak dibandingkan Amerika Serikat. Penderita astma pada tahun 1994 di Amerika serikat sekitar 14,6 juta orang, meningkat sekitar 17 juta pada tahun 1998. Astma pada anak di bawah usia 18 tahun tahun 1994 dilaporkan sekitar 4,8 juta anak. Penderita urticaria (biduran) dialami oleh sekitar 15% masyarakat Amerika setiap tahunnya. Penderita sinusitis kronik lebih banyak lagi yaitu sekitar lebih 50 juta orang. Penderita alergi kulit (dermatitis alergi) adalah paling dijumpai diantara penderita sakit kulit pada anak di bawah11tahun.
PENYEBAB DAN PENCETUS ALERGI
Sistim imun adalah mekanisme pertahanan yang diorganisir oleh tubuh melawan penyerbu-penyerbu asing, terutama infeksi-infeksi. Pekerjaannya adalah mengenali dan bereaksi terhadap bahan-bahan asing ini, yang disebut antigens. Antigens adalah bahan-bahan yang mampu menyebabkan produksi dari antibodi-antibodi. Antigens mungkin dapat atau tidak dapat menjurus pada reaksi alergi. Allergens adalah antigens tertentu yang menyebabkan reaksi alergi dan produksi dari IgE.
Tujuan dari sistim imun adalah memobilisasi kekuatannya pada tempat penyerangan dan menghancurkan musuh. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menciptakan protein-protein pelindung yang disebut antibodi-antibodi yang khusus ditujukan melawan bahan-bahan asing tertentu. Antibodi-antibodi ini, atau immunoglobulins (IgG, IgM, IgA, IgD), adalah pelindung dan membantu menghancurkan partikel asing dengan melekatkan dirinya pada permukaannya, dengan begitu membuat mudah sel-sel imun lainnya untuk menghancurkannya. Bagaimanapun orang yang alergi, mengembangkan tipe spesifik dari antibodi yang disebut immunoglobulin E, atau IgE, sebagai tanggapan pada bahan asing tertentu yang umumnya tidak berbahaya. Ringkasannya, immunoglobulins adalah grup dari molekul-molekul protein yang bekerja sebagai antibodi-antibodi. Ada 5 macam tipe-tipe yang berbeda: IgA, IgM, IgG, IgD, dan IgE.
IgE adalah antibodi alergi. IgE adalah antibodi yang dimiliki oleh kita semua dalam jumlah kecil. Orang-orang yang alergi, bagaimanapun, menghasilkan IgE dalam jumlah yang besar. Secara normal, antibodi ini penting dalam melindungi kita dari parasit-parasit.
Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa, menangis, berlari,olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress atau ketakutan. Faktor hormonal juga memicu terjadinya alergi pada orang dewasa. Faktor hormonal itu berpengaruh sebagai pemicu alergi terjadi saat kehamilan dan menstruasi. Sehingga banyak ibu hamil mengeluh batuk lama, gatal-gatal dan asma terjadi terus menerus. Demikian juga saat mentruasi seringkali seorang wanita mengeluh sakit kepala, nyeri perut dan sebagainya.
Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya serangan alergi. Bila mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Pencetus alergi tidak akan berarti bila penyebab alergi makanan dikendalikan.
Hal ini yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi dingin mungkin keliru.
FAKTOR
a. kesediaan atau kecenderungan sebuah organisem untuk berreaksi secara berlebihan terhadap zat-zat asing akibat kemampuan organisme itu untuk memproduksi antibodi dengan berlebihan. Juga kelabilan struktur pembuluh ikut mendukung hal ini.
b. sebuah organisme yang normal (dalam arti tidak mempunyai sifat-sifat tersebut dalam a bisa juga berreaksi berlebihan jika terjadi kontak dengan antigen dalam jumlah tinggi sekali (extreme exposure)
c. Belakangan ini dikemukakan sebuah teori, bahwa kecenderungan untuk menjaga kebersihan secara berlebih-lebihan bisa mendukung juga terbentuknya penyakit alergi, karena kemungkinan tubuh tidak terbiasa lagi kontak dengan antigen sebagai akibat disingkirkannya antigen-antigen tersebut (yang biasanya dikandung dalam “kotoran” sehari-hari) secara “mutlak”.
>> Fakta-fakta Alergi
• Diperkirakan sekitar 50 juta penduduk Amerika dipengaruhi oleh kondisi-kondisi alergi.
• Alergi rhinitis (alergi hidung) mempengaruhi sekitar 35 juta penduduk Amerika, 6 juta darinya adalah anak-anak.
• Asma mempengaruhi 15 juta penduduk Amerika, 5 juta darinya adalah anak-anak.
• Angka dari kasus-kasus asma berlipat ganda selama 20 tahun terakhir.
Alergi makanan merupakan reaksi hipersensitif yang artinya sebelum reaksi alergi terhadap alergen pada makanan muncul, seseorang harus pernah terkena alergen yang sama sebelumnya. Pada saat pertama kali terkena, alergen akan merangsang limfosit (bagian dari sel darah putih) untuk memproduksi antibodi (IgE) terhadap alergen tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel Mast jaringan tubuh manusia. Jika kelak orang tersebut memakan makanan yang sama maka antibodi ini akan menyuruh sel Mast untuk melepaskan histamin. Zat kimia yang bernama histamin inilah yang menyebabkan gejala alergi makanan. Kompleksnya proses pencernaan makanan akan mempengaruhi waktu, lokasi dan gejala alergi makanan, Seperti disebutkan diatas, alergen akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya eksim. Pada saat mereka mencapai paru - paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.
PATOFISIOLOGI ALERGI
Poses ini dimulai oleh suatu alergen melalui kontak dengan mukosa yang kemudian diikuti oleh renteten peristiwa kompleks yang menghasilkan IgE. Respons IgE merupakan suatu respons lokal yang terjadi pada tempat masuknya alergen ke dalam tubuh pada permukaan mukosa dan pada limfonodi. Produksi IgE oleh sel B tergantung pada penyajian antigen oleh sel penyaji antigen (APC) dan kerja sama antara sel B dan sel TH2. IgE yang dihasilkan mula – mula akan mensensitisasi sel mast di jaringan sekitarnya, sisanya akan masuk sirkulasi ataupun sel mast di jaringan lain di seluruh tubuh. IgE mampu melekat pada sel mast dan basofil dengan afinitas tinggi melalui fragmen Fc-nya. Dengan demikian, walaupun waktu paruh IgE bebas dalam serum hanya beberapa hari, sel mast dapat tetap tersensitisasi oleh IgE untuk beberapa bulan karena tingginya afinitas pengikatan IgE pada reseptornya, terlindungi dari penghancuran oleh protease serum. Reaksi hipersensitifitas tipe I terjadi bila sel mast yang telah tersensitisasi dengan IgE bertemu dengan antigen/alergen spesifik. Kemudian sel mast akan melepaskan mediator farmakologis seperti histamin, ECF-A (Eosinophil-Chemotactic Factor of Anaphylactic), PAF (Platelet Aggregating Factor) dan NCF-A (Netophil-Chemotactic Factor Anaphylactic). (Wahab. 2002: 70).
Mediator ini kemudian menimbulkan respons radang yang khas ditandai dengan erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan tebal, berwarna merah memutih bila ditekan dan disertai rasa gatal. (Matondang. 1996: 154). Oleh karena adanya ECF-A hasil dari degranulasi sel mast, sel eosinofil akan bergerak ke daerah sasaran dan akan melepaskan mediator berupa aNalergi/ihistamin yang akan mengontrol reaksi alergi. (Baratawidjaja. 1996: 4
MANIFESTASI KLINIS YANG SERING DIKAITKAN DENGAN ALERGI
ORGAN/SISTEM TUBUH GEJALA DAN TANDA
1. Sistem Pernapasan
Batuk (terutama malam hari dan pagi hari) lama dan berulang, BRONKITIS KRONIS, sesak(astma). Sering berdehem (batuk kecil)
2. Sistem Telinga Hidung Tenggorok
Sering nyeri tenggorokkan, sering berdahak, pilek, bersin, hidung buntu, sinusitis, polip, “hidung bengkok”. Telinga gatal, nyeri atau berair.
3. Sistem Pembuluh Darah dan jantung
Palpitasi (berdebar-debar), flushing (muka ke merahan), nyeri dada 9HEART ATTACK LIKE SYMPTOMS, colaps (jatuh), pingsan, tekanan darah rendah, arhitmia (denyut jantung tidak teratur)
4. Sistem Pencernaan
Nyeri perut, sering diare, kembung, muntah, sulit BAB (tidak BAB setiap hari), sering buang angin , sariawan, mulut berbau,
5. Kulit
Sering gatal, dermatitis, urticaria, bengkak di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk, kulit timbul bercak putih (seperti panu), pernah alergi obat.
6. Sistem Saluran Kemih dan Genitalia
Sering kencing terutama malam hari, nyeri kencing, vagina: keluar cairan, bengkak, kemerahan, nyeri, sakit bila berhubungan, keputihan
7.Sistem Susunan Saraf Pusat
Sering sakit kepala, migrain, short lost memory (sering lupa hanya sesaat ), floating (melayang), Gangguan Tidur (sulit tidur / insomnia, sering mimpi buruk, malam sering terbangun), susah konsentrasi, claustrophobia (takut ketinggian) Perilaku : impulsif (bicara berlebihan), sering terburu-buru,sering marah, mood swings
8. Sistem Hormonal
Kulit berminyak (atas leher), kulit kering (bawah leher), jerawat, endometriosis, Premenstrual Syndrome, kemampuan sex menurun, Chronic Fatique Symptom (sering lemas seperti tak bertenaga), Hipoglycemia like syndrome (sering lemas tak bergairah/seperti kurang gula darah), Gampang marah, Mood swing, sering terasa kesepian, rambut rontok
9. Jaringan otot dan tulang Nyeri tulang
nyeri otot, nyeri sendi, nyeri dada (heart attack like synptoms/gejala seperti sakit jantung), nyeri pinggang belakang, otot leher/bahu kaku, gerakan jalan terbatas/seperti pincang.
10. Gigi dan Mulut
Sering nyeri gigi dan gusi terutama gigi belakang (tanpa gigi berlubang/sering dikira karena gigi geraham yang tumbuhnya miring), sering sariawan luka dimulut.
11. Mata
Sering mata gatal (sering menggosok mata), sering bintilan di mata, timbul warna hitam di bawah kelopak mata.
Bila minimal 3 keluhan tersebut pernah / sering terjadi tanpa pernah tahu penyebabnya sebaiknya segera berkonsultasi dengan Dokter Alergi. Bila terdapat orang tua terdapat gejala alergi maka sebaiknya harus mewaspadai tanda dan gejala alergi pada anaknya.
Gejala dapat muncul beberapa menit setelah makan atau berjam - jam kemudian. Gejala awal dari alergi makanan dapat berupa rasa gatal pada mulut, kesulitan menelan dan bernafas. Saat makanan sudah mencapai lambung dan usus halus, gejala yang timbul berupa rasa mual, muntah, diare, dan nyeri perut. Gejala inilah yang sering membingungkan dan mengacaukan dengan gejala intoleransi makanan.
Alergi dibagi menjadi 4 macam, macam I s/d IV berhubungan dengan antibodi humoral, sedangkan macam ke IVmencakup reaksi alergi lambat oleh antibodi seluler.
Macam/Type I (reaksi anafilaktis dini): Setelah kontak pertama dengan antigen/alergen, di tubuh akan dibentuk antibodi jenis IgE (proses sensibilisasi). Pada kontak selanjutnya, akan terbentuk kompleks antigen-antibodi. Dalam proses ini zat-zat mediator (histamin, serotonin, brdikinin, SRS= slow reacting substances of anaphylaxis) akan dilepaskan (released) ke sirkulasi tubuh. Jaringan yang terutama bereaksi terhadap zat-zat tersebut ialah otot-otot polos (smooth muscles) yang akan mengerut (berkontraksi). Juga terjadi peningkatan permeabilitas (ketembusan) dari kapiler endotelial, sehingga cairan plasma darah akan meresap keluar dari pembuluh ke jaringan. Hal ini mengakibatkan pengentalan darah dengan efek klinisnya hipovolemia berat. Gejala-gejala atau tanda-tanda dari reaksi dini anafilaktis ialah: –EG shok anafilaktis – urtikaria, edema Quincke – kambuhnya/eksaserbasi asthma bronchiale – rinitis vasomotorica
Macam/type II (reaksi imu sitotoksis): Reaksi ini terjadi antara antibodi dari kelas IgG dan IgM dengan bagian-bagian membran sel yang bersifat antigen, sehingga mengakibatkan terbentuknya senyawa komplementer. Contoh: reaksi setelah transfusi darah, morbus hemolitikus neonatorum, anemia hemolitis, leukopeni, trombopeni dan penyakit-penyakit autoimun.
Macam/Type III (reaksi berlebihan oleh kompleks imun = immune complex = precipitate): Reaksi ini merupakan reaksi inflamasi atau peradangan lokal/setempat (Type Arthus) setelah penyuntikan intrakutan atau subkutan ke dua dari sebuah alergen. Proses ini berlangsung di dinding pembuluh darah. Dalam reaksi ini terbentuk komplemen-komplemen intravasal yang mengakibatkan terjadinya kematian atau nekrosis jaringan. Contoh: fenomena Arthus, serum sickness, lupus eritematodes, periarteriitis nodosa, artritis rematoida.
Macam/Type IV (Reaksi lambat type tuberkulin): Reaksi ini baru mulai beberapa jam atau sampai beberapa hari setelah terjadinya kontak, dan merupakan reaksi dari t-limfosit yang telah tersensibilisasi. Prosesnya merupakan proses inflamatoris atau peradangan seluler dengan nekrosis jaringan dan pengubahan fibrinoid pembuluh-pembuluh yang bersangkutan. Contoh: reaksi tuberkulin (pada tes kulit tuberkulosa), contact eczema, contact dermatitis, penyakit autoimun (poliarthritis, colitis ulcerosa) dll.).
>> Macam-macam alergen:
* alergen inhalatif atau alergen yang masuk melalui saluran pernafasan. Contohnya: serbuk sari tumbuh-tumbuhan (rumput, macam-macam pohon, dsb.), spora jamur (aspergillus, cladosporium, penicillium, alternaria dsb.), debu atau bubuk bahan-bahan kimia atau dari jenis padi-padian/gandum-ganduman (gandum, gandum hitam dsb.), uap formalin dll.
* alergen ingestif atau alergen yang masuk melalui saluran pencernaan: susu, putih telur, ikan laut atau ikan air tawar, udang, makanan asal tumbuhan (kacang-kacangan, arbei, madu dsb.), obat-obat telan.
* alergen kontak atau alergen yang menimbulkan reaksi waktu bersentuhan dengan kulit atau selaput lendir: zat-zat kimia, zat-zat sintetik (plastik, obat-obatan, bahan desinfeksi dll.), bahan-bahan yang berasal dari hewan (sutera, woll dll.) atau dari tumbuh-tumbuhan (jamur, getah atau damar dsb.).
* alergen yang memasuki tubuh melalui suntikan atau sengatan: obat-obatan, vaksin, racun atau bisa dari serangga seperti lebah atau semut merah).
* implant dari bahan sintetik atau logam (tertentu), bahan-bahan yang digunakan dokter gigi untuk mengisi lubang di gigi.
* autoalergen ialah zat dari organisme itu sendiri yang keluar dari sel-sel yang rusak atau pada proses nekrosa jaringan akibat infeksi atau reaksi toksik/keracunan.
DIAGNOSTIK
Pada kecurigaan adanya alergi setelah anamnesa dan pemeriksaan tubuh dilakukan dengan teliti, maka langkah pertama ialah melakukan ;
tes-tes alergi:
• tes epikutan
pembubuhan alergen-alergen yang dicurigai bisa menjadi penyebabnya ke atas foil khusus, yang kemudian ditempelkan (biasanya) ke punggung penderita. Pada reaksi positif, maka akan timbul bercak merah pada alergen atau alergen-alergen tersebut.
Tes alergi epikutan
• Tes intrakutan
setelah kulit di lengan bawah (lihat gambar) ditoreh dengan jarum dan ditandai, lalu pada luka-luka torehan dibubuhkan alergen-alergen yang dipilih (biasanya dipilih yang paling sering menjadi penyebab). Setelah beberapa waktu, jika ternyata positif, maka pada alergen tersebut akan timbul indurasi yang dikelilingi bercak merah. Tergantung garis tengah indurasi masing-masing, maka gradasi atau tingkat kepekaan terhadap alergen tersebut disebutkan dengan: negatif/tidak pasti/lemah/positif/positif kuat atau dengan – / (+) / + / ++ / +++ / ++++ .
• Tes alergi intrakutan
Untuk memperkuat atau memastikan diagnosanya, selanjutnya ditentukan kadar IgE total di serum dan IgE-IgE yang spesifik terhadap alergen-alergen yang menyebabkan reaksi positif. Pada penderita yang dicurigai menderita ekstrinsik atau alergik bronkial asma, seharusnya dilaksanakan tes eksposisi inhalatif dengan alergen tertentu (inhalatif provokatif tes spesifik), karena hasil tes intra- atau epikutan yang positif belum membuktikan seratus persen, bahwa sistem pernafasan sudah terkena. Kecuali jika dalam anamnesa sudah benar-benar ternyata, bahwa pada eksposisi dengan alergen tersebut penderita menderita sesak nafas. Dalam hal ini bahkan tes eksposisi inhalatif dengan alergen tersebut tidak dianjurkan, karena jelas berbahaya. Tes eksposisi inhalatif spesifik ini tentunya harus dilaksanakan dengan persiapan yang teliti, terutama persiapan untuk kedaan gawat-darurat yang bisa terjadi, yaitu reaksi yang parah dengan sesak nafas berat yang bisa sampai menyebabkan kematian. Karena itu sebelum tes ini harus dipastikan, bahwa obat-obatan seperti kortison, antihistaminikum, epinefrin, cairan infus serta alat-alat untuk resusitasi termasuk intubasi sudah tersedia lengkap.
• Pelaksanaan tes eksposisi inhalatif
Setelah persiapan-persiapan di atas, pemeriksaan dimulai dengan pelaksanaan spirometri. Jika ternyata pada pasien sudah dapat dibuktikan adanya obstruksi bronkial, maka tes tidak boleh dilaksanakan. Kecuali kalau obstruksinya hanya ringan sekali. Dalam hal ini dan jika tidak ada obstruksi, maka tes bisa dimulai dengan menyemprotkan alergen ke lubang hidung atau pasien harus menghirup alergen tersebut dari nebulizer.
Spirometri
• Tes provokasi inhalatif
Setelah beberapa waktu, spirometri diulangi lagi dan jika tenyata timbul obtsruksi, maka harus diberikan bronkolitikum/betamimetikum. Tes ini bisa dilakukan di praktik, tetapi sebaiknya pasien tidak diijinkan pulang selama 1 – 2 jam untuk menjaga-jaga timbulnya reaksi lambat, yang terkadang juga bisa berat. gejala klinis dan terapinya termasuk pada shok anafilaktis berat, beberapa reaksi alergis di mulut dan sekitarnya.
Disamping melalui tes-tes alergi, Pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari penyebab alergi sangat banyak dan beragam. Baik dengan cara yang ilmiah hingga cara alternatif, mulai yang dari yang sederhana hingga yang canggih.
Diantaranya adalah uji kulit alergi, pemeriksaan darah (IgE, RASt dan IgG), Pemeriksaan lemak tinja, Antibody monoclonal dalam sirkulasi, Pelepasan histamine oleh basofil (Basofil histamine release assay/BHR), Kompleks imun dan imunitas seluler, Intestinal mast cell histamine release (IMCHR), Provokasi intra gastral melalui endoskopi, biopsi usus setelah dan sebelum pemberian makanan.
Selain itu terdapat juga pemeriksaan alternative untuk mencari penyebab alergi makanan diantaranya adalah kinesiology terapan (pemeriksaan otot), Alat Vega (pemeriksaan kulit elektrodermal), Metode Refleks Telinga Jantung, Cytotoxic Food Testing, ELISA/ACT, Analisa Rambut, Iridology dan Tes Nadi.
Diagnosis pasti alergi makanan tidak dapat ditegakkan hanya dengan tes alergi baik tes kulit, RAST, Immunoglobulin G atau pemeriksaan alergi lainnya. Pemeriksaan tersebut mempunyai keterbatasan dalam sensitifitas dan spesifitas, Sehingga menghindari makanan penyebab alergi atas dasar tes alergi tersebut seringkali tidak menunjukkan hasil yang optimal.
Pada tes kulit seringkali yang terdeteksi adalah proses alergi reaksi cepat (reaksi terjadi kurang 8 jam). Seperti, bila makan udang dalam beberapa jam timbul gatal-gatal. Tetapi proses alergi makanan reaksi lambat (reaksi terjadi lebih dari 8 jam) seringkali negatif atau tidak terdeteksi. Sehingga sering terjadi pada tes kulit yang positif hanyalah debu yang merupakan alergi tipe reaksi cepat dan makanan lainnya negatif. Fenomena inilah yang mengakibatkan timbul persepsi bahwa gejala alergi sebagian besar disebabkan karena debu dan alergi makanan tidak dianggap sebagai penyebab alergi pada orang dewasa.
Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Mengingat cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap metode pemeriksaan tersebut. Children Family Clinic Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”. Dalam diet sehari-hari dilakukan eliminasi atau dihindari beberapa makanan penyebab alergi selama 2-3 minggu. Setelah 3 minggu bila keluhan alergi dan gangguan perilaku menghilang maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Setelah itu dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan dalam 1 minggu bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai penyebab alergi bila dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala.
Masih banyak perbedaan dan kontroversi dalam penanganan alergi makanan sesuai dengan pengalaman klinis tiap ahli atau peneliti. Sehingga banyak tercipta pola dan variasi pendekatan diet yang dilakukan oleh para ahli dalam menangani alergi makanan dan autisme. Banyak kasus pengendalian alergi makanan tidak berhasil optimal, karena penderita menghindari beberapa penyebab alergi makanan hanya berdasarkan pemeriksaan yang bukan merupakan baku emas atau “Gold Standard”.
Alergi selama ini selalu kita anggap sebagai gangguan biasa, sama sekali bukan penyakit, apalagi penyakit serius. Kenyataannya tidak demikian. Reaksi alergi sama sekali tidak bisa kita anggap remeh. Hal itu dijelaskan oleh Jean Carper - seorang wartawan yang juga penulis buku kesehatan dan nutrisi dalam bukunya Food Your Miracle Medicine. Menurut Jean Carper, ada banyak gejala penyakit yang pemicunya adalah penolakan tubuh pada makanan tertentu beberapa di antaranya adalah sakit kepala, gatal dengan bintik- bintik merah dan bengkak, suasana hati yang tidak nyaman, asma, eksem, irritable bowel syndrome (sindrom gangguan usus besar), ulcerative colitus (luka pada dinding usus besar), chronic fatique syndrome (rasa lelah terus menerus), depresi, hingga rhematoid arthritis.
Memang setiap benda yang masuk ke dalam tubuh akan dianggap sebagai benda asing oleh tubuh, baik itu berupa makanan, minuman, debu, obat, hingga bahan kimia. Sistem kekebalan tubuhlah yang setiap saat bertugas menghadapi dan mengidentifikasi setiap benda asing yang masuk. Jika yang masuk adalah benda yang dianggap aman, maka tidak akan terjadi sesuatu. Tapi jika benda yang masuk adalah yang dianggap berbahaya bagi tubuh, maka akan bereaksi dengan menolaknya. Sayangnya, sistem kekebalan tubuh sering bereaksi berlebihan dalam upaya mengeluarkan benda asing yang masuk tersebut. Reaksi alergi yang dimunculkan bisa saja berupa keluarnya lendir, gatal-gatal, atau batuk. Terkadang reaksinya bisa begitu parah sehingga mampu menghentikan detak jantung, begitu menurut Jean Carper.
Sebenarnya, jenis-jenis terapi yang bisa menyembuhkan alergi seperti halnya terapi bioresonansi sudah lama ada. Namun di Indonesia, hal itu belum dikenal secara luas. Umumnya jika kita pergi berobat ke dokter karena gatal-gatal atau bengkak akibat alergi, biasanya dokter akan memberikan obat anti-histamin untuk meredakan gejala alergi tersebut. Lalu selanjutnya akan dianjurkan menghindari hal-hal yang mungkin menjadi pemicu terjadinya reaksi alergi itu, seperti makanan, tanaman, atau hewan tertentu. Keharusan berpantang itulah yang umumnya dirasakan berat oleh penderita, terutama pantang makanan. Apalagi jika kebetulan pemicu alergi itu justru makanan yang sangat disukai, atau bumbu, seperti terasi, kecap, MSG, yang umum digunakan dalam berbagai masakan sehingga sulit untuk dihindari. Terlalu lama berpantang berbagai bahan pangan yang penting bagi tubuh juga bisa menyebabkan kekurangan gizi. Karena itu, meskipun tidak pernah dianggap sebagai penyakit kronis yang berbahaya, alergi tetap merupakan suatu penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Terapi bioresonansi ini ternyata juga bisa berfungsi mengatasi alergi tanpa menggunakan obat atau suntikan, tapi dengan menggunakan mesin.
PENANGANAN KHUSUS
Diposting oleh
Kesehatan_Gizi
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar