RSS

TETANUS, DBD, AIDS

TETANUS
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. ( Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).

ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum.
EPIDEMIOLOGI
Tetanus tersebur di seluruh dunia. Kasus tetanus yang dilaporkan di Amerika Serikat Tetanus is worldwide in distribution. Spora secara luas tersebar pada tanah dan feses hewan. Tetanus spora atau toxin dapat mengkontaminasi berbagai produk biologis dan peralatan operasi, seperti vaksin, serum dan catgut. Seseorang yang tidak diimunisasi, berapapun umur atau apapun jenis kelaminnya, memiliki probabilitas yang sama untuk terinfeksi. Walaupun C.tetani tersebar dimana-mana, tetanus termasuk penyakit yang jarang terjadi, namun NT masih merupakan masalah serius pada negara-negara berkembang, dimana tetanus menjadi penyabab dari 8% hingga 69% dari mortalitas neonatus. Asia selatan dan Afrika sub-Sahara yang paling dominant. Di India, NT, merupakan penyebab kedua terbanyak mortalitas neonatus dibawah septisemia. Lebih dari 300.000 bayi meninggal tiap tahunnya akibat NT. Survey berbasis komunitas telah mengidentifikasi faktor resiko terjadinya NT, termasuk tidak diberikannya imunisasi tetanus toxoid pada kehamilan, persalinan dirumah, pemotongan tali pusar yang tidak higienis, perban yang tidak steril yang diberikan pada tali pusar, dan riwayat NT pada persalinan sebelumnya. Penyakit ini dapat dicegah terjadi pada neonatus dengan memberikan imunisasi kepada wanita baik sebelum atau selama kehamilan dan meningkatkan frekuensi pertolongan persalinan oleh ahli medis berkompeten. Faktanya, dengan peralatan modern, teknik asepsis, dan imunisasi aktif, tetanus tetap merupakan penyakit yang tidak dapat dieliminasi. WHO pada tahun 1992, memperkirakan imunisasi dan persalinan steril akan mencegah 686.000 kematian neonatus akibat tetanus ( Galazka and Gasse, 1995 ). Banyak usaha telah dilakukan melalui Program Imunisasi Berkelanjutan.
PATOGENESA
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a.Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b.Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c.Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
d.Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

PATHOLOGI
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara sentripetal atau secara retrogard mencapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic.
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu).
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni
1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus
Kharekteristik dari tetanus
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme Otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
Ad 1. tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
Ad.2. Cephalic tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Ad.3 Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Ad.4. Neotal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus. Biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ). Berikut ini tabel. yang memperlihatkan instrument Untuk memotong tali pusat.
Tabel I : BAHAN UNTUK MEMOTONG TALI PUSAT



Sedangkan berikut ini pada tabel 2. Memperlihatkan material yang dipergunakan untuk tali pusat.
TABEL 2. : MATERIAL UNTUK TALI PUSAT

Jadi dari tabel diatas ( Tabel 2 ) terlihat dari 29 kasus ( 35,37 % ) biasanya mereka mempergunakan alkohol /spiritus untuk perlindungan terhadap tali pusat, sedangkan 26 kasus ( 31,70 %) mereka mempergunakan material yang berbeda berupa herbal origin.
DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :1.Gejala klinik
- Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria




DIAGNOSIS BANDlNG
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sular sekali dijumpati dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.
Berikut ini Tabel 3 yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus :

Tabel 3. : DIAGNOSIS BANDING TETANUS


PROGNOSIS
Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1. Umur bayi kurang dari 7 hari
2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4. Dijumpai muscular spasm.
Case Fatality Rate ( CFR) tetanus berkisar 44-55%, sedangkan tetanus neonatorum > 60%.

KOMPLIKASI
Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure
PENATALAKSANAAN
A. UMUM
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
-membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalamhal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.




B. OBAT- OBATAN
B.1. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan
B.2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
B.3.Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.



Berikut ini, tabel 4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka

Tabel 4. : PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA.
___________________________________________________________________
RIWAYAT IMUNISASI Luka bersih, Kecil Luka Lainnya
__________________________________________________
(dosis) Tet. Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT) Antitoksin
___________________________________________________________________
Tidak diketahui ya tidak ya ya
0 – 1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
___________________________________________________________________
* : Kecuali luka > 24 jam
** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun

B.4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel 5 : JENIS ANTIKONVULSAN
___________________________________________________________
Jenis Obat Dosis Efek Samping
________________________________________________________
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Stupor, Koma
Berat badan / 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan
________________________________________________________
Di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti konvulsan yang dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa diazepam, obat ini diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 – 4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti kejang.
Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun.
Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari( dosis maintenance ).
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan pengobatan

Pengobatan menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset,
- 3000 - 6000 unit, tetanus immune globulin satu kali saja.
- 1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri tetracycline 2 gram sehari.
- Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
- Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk mencegah cyanosis dan apnoe.
- Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
- Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.
Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:
- Kasus ringan :
Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat : 1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team )
2.Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
3.Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman
4.Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah conjuntivitis
5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari
6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
8.Rontgen foto thorax
9.Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.


PENCEGAHAN
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini diketahui sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada didalam lumen usus melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada serum seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam serum yang karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama kali.
Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana dengan baik.
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).








DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan terutama menyerang anak- anak dengan ciri- ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock dan kematian. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan mungkin juga Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari.Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih banyak menyerang anakanak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam Berdarab Dengue pada orang dewasa. Indonesia termasuk daerah endemik untuk penyakit Demam Berdarah Dengue. Serangan wabah umumnya muncul sekali dalam 4 - 5 tahun. Faktor lingkungan memainkan peranan bagi terjadinya wabah. Lingkungan dimana terdapat banyak air tergenang dan barang-barang yang memungkinkan air tergenang merupakan tempat ideal bagi penyakit tersebut.

ETIOLOGI
Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Virus ini termasuk kelompok Arthropoda. Borne Viruses (Arbovirosis). Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype virus yaitu ;
1. Dengue 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.
2. Dengue 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 diisolasi oleh Sather
4. Dengue 4 diisolasi oleh Sather.
Keempat type virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkanDengue type 3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat.
Sifat virus dengue (Hendarwanto,2000) :
a.Bentuk batang
b.Termolabil
c.Sensitif terhadap inaktivasi dietileter dan natriumdioksikolat
d.Stabil pada suhu 700C
ANGKA KEJADIAN
Infeksi virus dengue terus mengalami peningkatan prevalensi. Setiap tahunnya, diperkirakan terdapat 50 juta-100 juta kasus demam dengue dan lebih dari 500.000 kasus demam berdarah dengue di dunia.

Jumlah kasus demam berdarah di Indonesia tercatat masih tinggi, bahkan paling tinggi dibanding negara lain di ASEAN. Indonesia pun didapuk menjadi tuan rumah peluncuran resmi ASEAN Dengue Day pada 15 Juni 2011.Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2009 mencapai sekitar 150 ribu. Angka ini cenderung stabil pada tahun 2010, sehingga kasus DBD di Indonesia belum bisa dikatakan berkurang.Demikian juga dengan tingkat kematiannya, tidak banyak berubah dari 0,89 pada tahun 2009 menjadi 0,87 pada pada 2010. Ini berarti ada sekitar 1.420 korban tewas akibat DBD pada 2009 dan sekitar 1.317 korban tewas pada tahun berikutnya.
Di lingkungan yang berair, 1 ekor nyamuk rata-rata bertelur sebanyak 50-400 butir dan hanya butuh 1 minggu untuk menjadi nyamuk baru. Jika diambil angka terkecil, dalam seminggu selalu ada 50 ekor nyamuk baru yang pada minggu berikutnya menghasilkan 250 nyamuk lain lagi.
Faktor kepadatan penduduk juga memicu tingginya kasus DBD, karena tempat hidup nyamuk hampir seluruhnya adalah buatan manusia mulai dari kaleng bekas, ban bekas hingga bak mandi. Karena itu, 10 kota dengan tingkat DBD paling tinggi seluruhnya merupakan ibukota provinsi yang padat penduduk.
Penyakit Demam Berdarah Dengue pertamakali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, kemudian menyebar luas ke seluruh pelosok tanah air. Angka kesakitan dan wilayah Dati II terjangkit berftuktuasi dari tahun ke tahun namun selalu cenderung meningkat. Angka kesakitan dan wilayah Dati II terjangkitDemam Berdarah Dengue dari tahun 1968 s/d 1996 /Insidens Demam Berdarah Dengue. Selama periode 1968 -1988 insidens demam berdarah dengue cenderungmeningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1968 jumlah penderita demam berdarah dengue yang dirawat ada 53 orang, meninggal 24 orang (41,3%). Jumlah wilayahterjangkit 2 buah Dati II kemudian pada tahun 1988 jumlah kasusnya meningkat menjadi 47.573 orang (insidens = 27,1 per 100.000 penduduk) dengan kematian1.527 orang (3,2%). Jumlah Dati II yang dilaporkan terjangkit adalah 201 Dati II. Setelah terjadinya kejadian luar biasa demam berdarah dengue nasional pada tahun 1988, kasus demam berdarah dengue di Indonesia menurun tajam. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebijaksanaan program demam berdarah dengue yangdikembangkan selama satu dasawarsa terakhir. Insidens rate demam berdarahdengue pada tahun 1989 (awal repelita V) turun menjadi 6,1 per 100.000 penduduk kemudian pada tahun kedua dan ketiga mengalami peningkatan menjadi 12,73 dan11,56 per 100.000 penduduk dan pada tahun 1993 (akhir repelita V) insidens rate mengalami penurunan menjadi 9,2 per 100.000 penduduk. Kemudian pada tahun 1994 insidens rate demam berdarah meningkat kembali dari 9,4 menjadi 18,4 per100.000 penduduk pada tahun 1995 dan 22,96 per 100.000 penduduk pada tahun 1996 wilayah Dati II terjangkit demam berdarah dengue bertambah luas yaitu dari201 Dati pada tahun 1988 menjadi 211 Dati II pada tahun 1996. Propinsi yang angka insidens demam berdarah denguenya tinggi pada tahun 1996 (> 10/100.000 penduduk) yaitu : Propinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur.Terjadinya peningkatan kasus demam berdarah dengue mulai tahun 1994 s/d1996, antara lain disebabkan nyamuk penularnya masih tersebar luas, penyakit demam berdarah dengue muncul diwilayah yang belum pernah terjangkit demam berdarah dan lokasi-lokasi pemukiman baru di beberapa kota. Disamping itu terkumpulnya penduduk yang berasal dari berbagai lokasi asal, memungkinkan terjadi pertukaran jenis virus dengue yang dapat berakibat pada letusan/kejadianluar biasa penyakit demam berdarah dengue.
Angka Kematian.
Angka kematian Demam Berdarah Dengue dari tahun ke tahun tampak menurunsecara konsisten. Pada tahun 1968 angka kematian Demam Berdarah Denguesebesar 41,3% menurun menjadi 2,7% pada tahun 1996. Secara keseluruhan angkakematian (CFR) cenderung menurun dengan rata-rata 2,5% pertahun. Terjadinya penurunan angka kematian Demam Berdarah Dengue ini salah satu penyebabnyaadalah semakin baiknya penata laksanaan kasus Demam Berdarah Dengue di rumahsakit dan Puskesmas, sertat semakin banyak warga masyarakat yang mengetahuitanda-tanda dan akibat penyakit Demam Berdarah Dengue, sehingga penderita segera dibawa berobat ke rumah sakit atau puskesmas. Meskipun demikian pada tahun 1996 ada beberapa program di Indonesia yang angka kematian masih cukup tinggi (>5%) yaitu propinsi Aceh, SumateraSelatan dan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Nusa Tenggara Barat dan Timor-Timor. Tingginya angka kematian disebabkan propinsi tersebut menurut tim observasi Demam Berdarah Dengue di Propinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat, salah satu diakibatkan oleh daerah tersebut ketat dalam menentukan diagnosa Demam Berdarah Dengue (penderita tersangka demam berdarah dengue yang tidak dirawat di rumah sakit tidak dimasukkan dalam kasus Demam Berdarah Dengue), sehingga jumlah kasusDemam Berdarah Dengue dalam perhitungan CFR menjadi kecil dan akibatnya CFR menjadi besar.

Musim Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Secara nasional penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia setiap tahun terjadi pada buan September s/d Februari dengan puncak pada bulan Desember atau Januari yang bertepatan dengan waktu musim hujan. Akan tetapi Untuk kota besar,seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya musim penularan terjadi padabulan Maret s/d Agustus dengan puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli.Vektor Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Vektor Demarn Berdarah Dengue yang utama di Indonesia adalah AedesAegypti. yang keberadaannya hingga dewasa ini masih tersebar di seluruh pelosok tanah air dari hasil survey jentik yang dilakukan Depkes tahun 1992 di 7 kota di Pulau Jawa Sumatera dan Kalimantan, menunjukkan bahwa rata-rata persentase rumah dan tempat umum yang ditemukan jentik (Premis index) masih cukup tinggi.yaitu sebesar 28%.
Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue.
Penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di daerah perkotaan lebih intensif dari pada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi didaerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular Demam
Berdarah Dengue (Aedes Aegypti) menyebarkan virus dengue dari satu orang keorang lain yang ada disekitarnya (jarak terbang nyamuk Aedes aegypti biasanyatidak lebih dari 100 meter). Selain itu mobilitas penduduk dikota pada umumnya. jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Jumlah Dati II yang terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue dari tahun ke tahun meningkat. Dalam tahun 1992 hanya ada 187 Dati II terjangkit, dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 211 Dati ll. Masih terus meningkatnya jumlah Dati II yang terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue salah satu penyebabnya karena masih kurangnya upaya penggerakkan masyarakat dalam Pemberantasan Sarang nyamuk penular penyakitDemam Berdarah Dengue (PSN DBD), di berbagai daerah. Hal ini dapat dilihat dari
masih rendahnya rata-rata Angka Bebas Jentik (ABJ) Hasil Pemantauan Jentik Berkala (pm) di seluruh Propinsi dalam 6 tahun terakhir (1991-1996) berkisar 78,6-83,69. Angka ini masih jauh lebih rendah dari 95% yaitu angka yang diharapkanuntuk dapat membatasi penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue. ABJ yang dicapai di beberapa daerah, sifatnya sangat dinamis, selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu tergantung dari upaya penggerakkan masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuknya (PSN DBD). Hal ini tampak dari data lampiran 2, dimana ratarata ABJ meningkat dari tahun 1991 s/d 1994, namun kemudian menurun kembali mulai tahun 1995 dan 1996.
UPAYA PEMBERANTASAN DEMAM BERDARAH DENGUE.
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968 dengan jumlah kasus 58 orang dengan 24 kematian (CPR = 41,.3%). Setelah itu penyakit Demam Berdarah Dengue ini menyebar keseluruh wilayah Indonesia, yang hingga dewasa ini seluruh Propinsi di Indonesia telah terjangkit.
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1974 upaya pemberantasan penyakit Demam darah Dengue belum diprogramkan dan upaya pemberantasan dimasukan dalam program pemberantasan penyakit lain. Kegiatan pokok pemberantasan meliputi penemuan dan pengobatan penderita serta penyemprotan dilokasi Demam Berdarah Dengue yang ditemukan.Mulai tahun 1975 s/d 1979 dibentuk Subdit Arbovirosis pada Direktorat Jenderal PPM-PLP. Kegiatan pemberantasannya mulai diprogramkan yang meliputi pengamatan, pengobatan penderita, dan penyemprotan disekitar lokasi penderita (Foging Fokus) dengan radius 100 m. Selaras dengan itu dibentuk unit-unit pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue di Tingkat Dati I dan Dati II.
Tahun 1980 s/d 1984 program kegiatan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue dikembangkan dengan melaksanakan abatisasi massal terhadap kota-kota dengan endemisitas Demam Berdarah Dengue yang tinggi. Kemudian mulai tahun 1985 s/d 1989 abatisasi massal dipertajam sasarannya melalui stratifikasi desa endemis dan non endemis. Untuk desa endemis dilakukan abatisasi selektif (abatisasi terhadap tempat-tempat penampungan air yang ditemukan jentik nyamuk Aedes Aegypti), Foging massal dan Pemberantan Sarang Nyamuk (PSN).Mulai tahun 1990 s/d sekarang dikembangkan program pemberantasan intensif Demam Berdarah Dengue di desa/Kelurahan endemis Demam Berdarah Dengue dengan kegiatan penanggulangan fokus, foging massal sebelum musim penularan, abatisasi selektif serta penyuluhan don penggerakkan PSN melalui kerjasama lintas program dan sektor. Kemudian stratifikasi desa disempurnakan menjadi 3 strata yaitu : endemis, sporsdis dan bebas/potensial.Pada periode ini tepat pada tahun 1992 terbit KepMenkes Nomor : 581 tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue berdasarkan Kepmenkes Nomor 581 tahun 1992, tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue, surat Edaran Mendagri, No. 443/115/Bandes, perihal operasionalisasi Kep. Menkes No. 581 tahun 1992, Surat Edaran Tim Pembina UKS tingkat pusat No. 80/fPUKS oo/X/93, tentang Pembinaan UKS dalam upayapencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue, Surat Edaran Tim Penggerak PKK Pusat No. 500/ SKR/PKK.PST/94, tentang penyuluhan dan motivasi gerakan PSN Demam Berdarah Dengue, SK Mendagri No. 31-VI tahun 1994., tentang pembentukan kelompok operasional pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue dan surat Edaran Mendagri No. 912/351/Bangda tahun 1994 tentang penyediaan dana dalam rangka menanggulangi penyakit Demam Berdarah Dengue. Berdasarkan Kepmenkes tersebut, tugas dan fungsi Subdit Arbovirosis ditetapkan bahwa : Upaya pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan : pencegah, penemuan dan pelaporan penderita, pengamatan, penyakit, penyelidikan epidemiologi, penanggulanganseperlunya serta penanggulangannya lain dan penyuluhan kepada masyarakat.
PATOGENESA
Perjalanan Penyakit (Patogenesis)
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagaivektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Apabila orang itu mendapatinfeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yangberbeda. DBD dapat terjadi, bila seseorangyang telah terinfeksi dengue pertama kali,mendapat infeksi berulang dari virus dengue dengan serotipelainnya. Virus akan bereplikasidi nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke sistemretikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupunhematogen (Mansjoer, 2000).
Sejauh ini belum ada suatu teori yang dapat menjelaskan secara tuntas patogenesisdemam berdarah Dengue (Mansjoer, 2000). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yangkuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue.

Suhendro dkk (2006) menyebutkan bahwa respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
1.respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalamnetralisasi virus. Antibodi tersebut berperan dalam mempercepat replikasi virus padamonosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
2.limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue.
3.monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasiantibody.Namun proses ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresisitokin oleh makrofag yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan permeabilitaspembuluh darah.
4.Aktivasi komplemen oleh kopleks imun menyebabkan terbentuknya C3a danC5a. Akibat aktivasi C3a dan C5a menyebabkanpeningkatanpermeabilitas dindingpembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infectionyangmenyatakan bahwa demam berdarah dengue terjadi bila seseorang terinfeksi ulangvirus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodysehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi. Hipootesis keduamenyatakan bahwa virus dengue dapat mengalami perubahan genetik sehingga dapatmenyebabkan peningkatan replikasi virusdan viremia, serta peningkatan virulensi danpotensi untuk menimbulkan wabah (Depkes, 2004).
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus Dengue, kompleks antigen-antibodi selainmengaktivasi komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistemkoagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akanmenyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dariantigen-antibodi pada membran trombosit sehingga trombositmelekat satu sama lain. Hal ini akanmenyebabkan trombosit dihancurkan oleh sistem retikuloendotelial sehingga terjaditrombositopenia. Agregasi trombosit ini akanmenyebabkanpengeluaran platelet faktor IIImengakibatkankoagulopatikonsumtif, ditandai dengan peningkatan FDP(fibrinogen degradation factor) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan (Depkes, 2004).

Agregasi trombosit juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit. Sehinggawalaupun jumlah trombosit masih cukup banyak tetapi tidak berfungsi dengan baik. Di sisilain aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman,sehingga terjadi aktivasisistem kinin yang memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepatterjadinya syok.Jadi, perdarahan massif pada DBD dikibatkan oleh trombositopenia,penurunan faktor pembekuan, kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotelkapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi (Depkes, 2004).
Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan membedakan demam berdarah dengue dengan dengue klasik ialah tingginya permabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diabetes hemoragik. Meningginya nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya nilai hematokrit. Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekunder dicoba dirumuskan oleh Suvatte dan dapat dilihat pada gambar 1.
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi ananmestik yang akan terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24 -48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekwat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaranhebat yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit. Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebabperdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi sistem koagulasi. Pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM/DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada penderita DBD tanpa atau dengan renjatan. Renjatan pada PIM akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki renjatan irrevesible disertai perdarahan hebat, terlihatnya organ-organ vital dan berakhir dengan kematian.
PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE
Demam Berdarah Dengue meropakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Yang paling berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti karena hidupnya di dalam dan disekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecualiditempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak.
NYAMUK PENULAR DEMAM BERDARAH DENGUE
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tunlbuhan atan sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah , nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau diluar runlah. Tempat hinggap yang disenangi adalahbenda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Disini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air. Jentik kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa.
MEKANISME PENULARAN.
Penyakit Demam Berdarah Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.Nyamuk ini mendapat virus Dengue sewaktu mengigit mengisap darah orang yang sakit Demam Berdarah Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus dengue. Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti yang telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.Penularan ini terjadi karena setiapkali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.
AKlBAT PENULARAN VIRUS DENGUE.
Orang yang kemasukan virus dengue, maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti yang spesifik sesuai dengan type virus dengue yang masuk. Tanda atau gejala yang timbul ditentukan oleh reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada dalarn virus dengue yang baru masuk. Orang yang kemasukkan virus dengue untuk pertamakali, umumnya hanya menderita sakit demam dengue atau demam yang ringan dengan tanda/gejala yang tidak spesifik atau bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sarna sekali (asymptomatis). Penderita demam dengue biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari tanpa pengobatan. Tanda – tanda demam berdarah dengue ialah demarn mendadak selama 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari ke 3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 panas mendadak turun. Tetapi apabila orang yang sebelumnya sudah pemah kemasukkan virus dengue, kemudian memasukkan virus dengue dengan tipe lain maka orang tersebut dapat terserang penyakit demam berdarah dengue (teori infeksi skunder).
TEMPAT POTENSIAL BAGI PENULARAN DBD
Penularan Demarn Berdarah Dengue dapat terjadi disemua tempat yang terdapat nyamuk penularan. Adapun tempat yang potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :
1. Wilayah yang banyak kasus DBD (Endemis).
2. Tempat-tempat unlum merupakan temp at berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaranbeberapa tipe virus dengue cukup besar tempat - tempat umum antara lain:
a. Sekolah.
b. RS / Puskesmas dan Sarana pelayanan kesehatan lainnya.
c. Tempat mnmn lainnya seperti : hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah dan lain-lain.
3. Pemukiman baru dipinggir kota.
Karena dilokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah dimana
kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier.
GAMBARAN KLINIK
Tanda-tanda dan gejala penyakit DBD adalah :
1. Demam
Penyakit DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus berlangsung 2 - 7 hari, kenudiml turun secara cepat. Demam secara mendadak disertai gejala klinis yang tidak spesifik seperti: anorexia lemas,nyeri pada tulang, sendi, punggung dan kepala.
2. Manipestasi Pendarahan.
Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari 2-3 setelah demam. Sebab perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk perdarahan dapat berupa :
- Ptechiae
- Purpura
- Echymosis
- Perdarahan cunjunctiva
- Perdarahan dari hidung (mimisan atau epestaxis)
- Perdarahan gusi
- Muntah darah (Hematenesis)
- Buang air besar berdarah (melena)
- Kencing berdarah (Hematuri)
Gejala ini tidak semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu diperlukan toreniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita Demam Berdarah Dengue.
3. Pembesaran hati (Hepotonegali).
Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan berapa penyakit Pembesan hati mungkin berkaitandengan strain serotype virus dengue.
4. Renjatan (ShocK).
Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7 mulai sakit. Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapilar yang rusak. Adapun tanda-tanda perdarahan:
- Kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari dan kaki.
- Penderita menjadi gelisah.
- Nadi cepat, lemah, kecil sampai tas teraba.
- Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang)
- Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg atau
kurang). Renjatan yang terjadi pada saat demam, biasanya mempunyai
kemungkinan yang lebih buruk.
5. Gejala Klinis Lain.
Gejala lainnya yang dapat menyertai ialah : anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit perut, diare atau konstipasi dan kejang
KLASIFIKASI PENYAKIT
Klasifikasi DBD berdasarkan derajatnya dibagi menjadi :
1.Demam Berdarah (DB)
Gejala: Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital,
mialgia, atralgia.
Laboratorium :Leukopenia, trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran
plasma.
Serologi dengue positif.
2.DBD Derajat I
Gejala: Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital,
mialgia, atralgia serta ditambah uji bendung positif.
Laboratorium: Leukopenia, trombositopenia (<100.000/dl), ditemukan bukti kebocoran plasma. 3.DBD Derajat II Gejala : Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital,mialgia, atralgia serta ditambah uji bendung positif dan adaperdarahan spontan. Laboratorium:Leukopenia, trombositopenia (<100.000/dl), ditemukan bukti kebocoran plasma. 4.DBD Derajat III Gejala : Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital,mialgia, atralgia serta ditambah uji bendung positif dan terjadikegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lebab serta gelisah). Laboratorium:Leukopenia, trombositopenia (<100.000/dl), ditemukan bukti kebocoran plasma. 5.DBD Derajat IV Gejala:Kelanjutan dari DBD derajat III disertai syok berat dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur. Laboratorium:Trombositopeni (<100.000/dl), ditemukan bukti ada kebocoran plasma. DBD derajat III dan IV juga disebut sebagai Dengue Syok Sindrom. PEMERIKSAAN LAB/PENUNJANG Pemeriksaan Penunjang : Hemeaglutinasi Uji Imuno Serologi Uji serologi memakai serum ganda Uji serologi memakai serum tunggal Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan laboratorium yang penting ialah hemokonsentrasi ( Nilai Hematokrit ) dan trombositopeni ( jumlah trombosit menurun). Hemokonsentrasi sesuai dengan patokan WHO baru dapat dinilai setelah penderita sembuh. Penderita DBD yang sepenuhnya memenuhi kriteria klinis WHO yaitu trombosit <100.000/uL dan hemokonsentrasi hanya berjumlah 20%. Bila patokan hemokonsentrasi dan trombositopeni menurut kriteria WHO dipakai secara murni maka banyak penderita DBD yang tidak terjaring dan luput dari pengawasan. Dalam kenyataan di klinik tidak mungkin mengukur kenaikan hemokonsentrasi pada saat penderita pertama kali datang sehingga nilai hematokritlah yang dapat dipakai sebagai pegangan. Penelitian pada penderita DBD berkesimpulan nilai hematokrit <40% dapat dipakai sebagai petunjuk adanya hemokonsentrasi dan selanjutnya diperhatikan kenaikannya selama pengawasan. Pemeriksaan demam berdarah secara umum dilakukan dengan pemeriksaan sebagai berikut: 1.Radiologi Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura dan pengalaman menunjukkan bahwa posisi lateral dekubitus kanan lebih baik dalam mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring. 2.Ultrasonografis Pencitraan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan dan yang penting tidak menggunakan sistim pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai organ dalam perut. Adanya ascites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG sangat membantu dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai sebagai alat diagnostik bantu untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang lebih berat misalnya dengan melihat penebalan dinding kandung empedu dan penebalan pankreas . 3. Serologik Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibody pada masa akut dan masa konvalesen. Pemeriksaan dapat berupa Neutralizing test, complement fixation test atau hemagglutination inhibition test. Bergantung pada kebutuhannya. Pemeriksaan serologis dapat membantu menegakkan diagnosis klinis. Untuk pemeriksaan serologis ini dibutuhkan 2 contoh darah pada masa konvalesen yang diambil 1-4 minggu setelah perjalanan penyakit. Dalam praktek sukar sekali mendapatkan contoh darah kedua karena biasanya penderita setelah sembuh tidak bersedia diambil darahnya. Maksud diambil contoh darah yang kedua ialah selain untuk menjaga kemungkinan tidak didapatkan contoh darah ketiga juga untuk mempercepat hasil akan sudah cukup nyata sehingga dapat diinterpretasi. Apabila hanya diperoleh satu contoh darah, penafsiran akan sulit atau bahkan sering tidak mungkin dilakukan. Diagnosis pasti DBD ditegakkan dengan pemeriksaan serologis (tes hemaglutinasi inhibisi, fiksasi komplemen, tes netralisasi, Elisa IgM dan IgG, PCR) serta isolasi virus. Tes baku yang dianjurkan WHO ialah tes hemaglutinasi inhibisi (HI). Untuk konfirmasi dilakukan pemeriksaan hemaglutinasi inhibisi (HI) dari sampel darah akut saat masuk dirawat, sampel darah saat keluar, rumah sakit dan penderita diminta untuk kontrol kembali setelah 1 minggu pulang sekalian diambil sampel darah ketiga. Dari pengalaman hanya sekitar 50% penderita kembali untuk pengambilan darah ketiga, akan tetapi hal ini sangat berarti dalam penilaian hasil serologik. Pemeriksaan ini selain tidak spesifik tetapi juga harganya relatif mahal. Pada keadaan diagnosis klinis sudah jelas maka pemeriksaan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Pada kasus yang tidak jelas mungkin pemeriksaan ini sering membantu menunjang menegakkan diagnosis DBD. Hasil pemeriksaan dengue blot positif dapat terjadi pada penyakit DBD dan DD. Pemeriksaan uji Hemagglutination inhibition antibody dapat dilakukan dengan 2 cara : a.Dalam bentuk serum yaitu dengan mengambik 2-5 ml darah vena dengan menggunakan semprit atau vacutainer. Selanjutnya serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam botol steril yang tertutup rapat. Sebelum dikirim serum disimpan dalam lemari es dan pada waktu dikirim ke laboratorium dimasukkan ke dalam termos berisi es. b.Dengan menggunakan kertas saring “filter paper disc”. Kerta saring ini khusus, dengan diameter 12,7 mm, mempunyai tebal dan daya hisap tertentu. Darah dari tusukan pada ujung jari atau darah vena dari semprit dikumpulkan pada kertas saring sampai jenuh bolak-balik, artinya seluruh permukaan kertas saring harus tertutup darah. Diusahakan agar kertas saring tidak diletakkan pada permukaan yang memudahkan kertas saring melekat, misalnya pada kaca atau plastik. Kertas saring yang dikeringkan pada suhu kamar selama 2-3 jam dapat dikirim dalam amplop dengan perantaraan pos ke laboratorium. 4. Widal Widal adalah identifikasi antibodi tubuh terhadap penyakit tifus. Kejadian seperti inilah yang menimbulkan kerancuan diagnosis DBD. Padahal pada penyakit demam tiphoid pada minggu awal panas biasanya malah tidak terdeteksi peningkatan titer Widal tersebut. Bila hasil pemeriksaan widal meningkat tinggi pada awal minggu pertama, tidak harus dicurigai sebagai penyakit tifus. Sebaiknya pemeriksaan Widal dilakukan saat panas pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke 2. 5. Tes Tourniquet. Test ini bersifat non invansiv untuk mendiagnosa dini DBD, penggunaannya dengan cara mengobstruksi aliran vena, sehingga pada bagian distal lenan akan diperoleh gambaran petechie. Meskipun cara ini mudah dan sarana yang ada dapat mudah diperoleh, namun cara ini mengalami kelemahan diantaranya : dapat di lihat untuk panas setelah 3 hari dimana trombosit telah berkurang, prosedur yang dijalani sangat tidak nyaman bagi pasien terlebih pada anak-anak DIAGNOSA (GEJALA KHAS) Diagnosa penyakit DBD ditegakkan jika ditemukan: a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 b. Manitestasi Perdarahan c. Tombositoperiia yaitu jumlah trombosit dibawah 150.000/mm3, biasanya ditemukan antara hari ke 3-7 sakit. d. Mokonsentrasi yaitu meningkatnya hematokrit, merupakan indikator yang peka terhadap jadinya renjatan sehingga perlu dilaksanakan penekanan berulang secara periodik. Kenaikan Ht 20% menunjang diagnosa klinis Demam Berdarah Dengue. Mengingat derajat berat ringan penyakit berbeda-beda, maka diagnosa secara klinis dapat dibagi atas (WHO 75). 1. Derajat I (ringan). Demam mendadak 2 – 7 hari disertai gejala klinis lain, dengan manifestasi perdarahan dengan uji truniquet positif 2. Derajat II (sedang). Penderita dengan gejala sama, sedikit lebih berat karena ditemukan perdarahan spontan kulit dan perdarahan lain. 3. Derajat III (berat). Penderita dengan gejala shoch/kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah. 4. Derajat IV (berat). Penderita shocK berat dengan tensi yang tak dapat diukur dan nadi yang tak dapat diraba KOMPLIKASI Pada DD tidak terdapat komplikasi berat namun anak dapat mengeluh lemah/lelah (fatigue) saat fase pemulihan. Komplikasi berat dapat terjadi pada DBD yaitu ensefalopati dengue, gagal ginjal akut, atau udem paru akut. Tubuh membutuhkan cairan untuk membawa oksigen dan menjalankan fungsi ginjal. Tetapi, pada pasien demam berdarah, cairan tubuh cenderung turun secara drastis. Hal inilah yang menyebabkan ginjal tidak berfungsi dengan baik. Komplikasi DBD a) Ensefalopati Dengue b) Acute Tubular Necrosis (ATN) c) Edema Paru d) Diare TERAPI Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan. Pada pasien ini didapatkan gejala demam 4 hari, terdapat asites, hepatomegali, dan rash pada ektremitas. Pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan angka trombosit dan peningkatan hematokrit. Hal ini termasuk dalam kriteria WHO untuk demam berdarah dengue derajat dua. Pada pasien diberikan terapi cairang 3 cc/kgbb PENCEGAHAN • PRIMER Pencegahan Primer Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. 2.5.1. Surveilans Vektor Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah : a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa. HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100% Jumlah Rumah yang Diperiksa b.Universitas Sumatera Utara. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. CI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100% Jumlah Container Yang Diperiksa c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa. BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah Jumlah Rumah Yang Diperiksa Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa. ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100% Jumlah Rumah Yang Diperiksa Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk disuatu wilayah. 2.5.2. Pengendalian Vektor Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu : a. Pengendalian Cara Kimiawi Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan Universitas Sumatera Utaraorganoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi. b. Pengendalian Hayati / Biologik Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk. c. Pengendalian Lingkungan Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari. Surveilans Kasus Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem inin berguna untuk memantau kecenderungan penyabaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD. 2.5.4. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasilhasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu : 1.Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan minimal sekali dalam seminggu. 2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa. 3. Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. 2.6. Pencegahan Sekunder Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut : 2.6.1. Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara : 1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan. 2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya. 2.6.2. Diagnosis Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium. 1. Kriteria Klinis a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari. b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia. c. Pembesaran hati (hepatomegali). d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah. Kriteria Laboratorium a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml) b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih. 3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu : a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif. b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya. c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( < 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah. d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi. Diagnosis Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis infeksi dengue, meliputi : 1. Pengumpulan Spesimen Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium adalah pengumpulan, pegolahan, penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Persyaratan dari jenis spesimen, cara penyimpanan dan pengiriman dapat dilihat pada tabel berikut ini : 5 Jenis spesimen Waktu pengambilan Penyimpanan Pengiriman Spesimen darah Akut (S1) 0-5 hari setelah onset -70 0 C dry-ice Spesimen darah Konvelesen (S2 & S3) 2-3 minggu setelah awitan -20 0 C beku/es Jaringan Secepatnya setelah meninggal -70 0 C dry-ice Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada stadium akut atau secepatnya setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah sakit. Spesimen S2 adalah sampel darah yang diambil pada waktu penderita akan meninggalkan rumah sakit atau secepatnya sebelum meninggal. Spesimen S3 adalah sampel darah yang diambil 2-3 minggu setelah spesimen akut. Waktu antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen akut dan kovalesen adalah 10 hari. Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen darah dapat dilakukan dengan 2 cara : a. dengan menggunakan kertas saring (filter paper khusus). Darah diteteskan pada kertas saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga seluruh permukaan filter paper terisi darah rata. Darah dapat dari pembuluh vena dapat pula darah dari ujung jari (ujung jari ditusuk). Kertas saring yang berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar. Jangan dikeringkan dengan panas sinar matahari atau yang lainnya. Kertas saring yang berisi darah yang telah kering disimpan dalam tempat yang kering pada suhu kamar tidak lebih dari 3 bulan. Kirimkan dalam amplop atau kantong plastik ke laboratorium secepatnya sebelum waktu 3 bulan tersebut. b. dengan serum darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan dengan diputar 1500-2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah dipindahkan dalam botol kecil dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan pada suhu -200C sebelum dikirim ke laboratorium. 2. Isolasi Virus Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan pada sebagian besar kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit dan langsung diproses tanpa penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus diantaranya serum fase akut dari pasien, autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari hati, limpa, nodus limfe. 3. Uji Serologis Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaaan serologi untuk penderita DBD dan telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada Universitas Sumatera Utarapemeriksaan serologi penderita DBD dibandingkan pemeriksaan serologi lainnya seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji netralisasi, dan sebagainya. Apapun jenis uji yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah pasti bergantung pada kenaikan yang signifikan (4 kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam sampel serum diantara fase akut dan fase pemulihan. Kumpulan antigen untuk sebagian besar uji serologis ini harus mencakup keempat serotipe dengue. 2.6.4. Pengobatan Penderita DBD Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. 1. Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi : a. Istirahat total di tempat tidur. b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah garam/oralit). Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut berlebihan, maka cairan inravena harus diberikan. c. Berikan makanan lunak d. Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres, antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan diberikan asetosal karena dapat menyebabkan perdarahan. e. Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder. 2. Penatalaksanaan pada pasien syok : a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah syok diatasi. Universitas Sumatera Utarab. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam. Nilai normal Hemoglobin : Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah Laki-laki dewasa : 13 – 16 gr/100 ml darah Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100 ml darah Nilai normal Hematokrit : Anak-anak : 33 – 38 vol % Laki-laki dewasa : 40 – 48 vol % Wanita dewasa : 37 – 43 vol % c. Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi darah. 2.6.5. Penyelidikan Epidemiologi (PE) Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita dan 20 rumah disekitarnya serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan, hasilnya dicatat dalam formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui Camat dan penanggulangan seperlunya untuk membatasi penularan. Maksud penyelidikan epidemiologi ialah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tanbahan dan luas penyebarannya, serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit DBD lebih lanjut dilokasi tersebut. Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan penderita panas tanpa sebab yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3 M plus, larvasida, fogging fokus / penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah sekitar tempat tinggal penderita DBD dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan berdasarkan hasil dari penyelidikan epidemiologi, dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan kasus lain maka dilakukan penyuluhan dan kegiatan 3M. 2.7. Pencegahan Tersier Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit DBD dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan : a. Transfusi Darah Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena diindikasikan untuk mendapatkan transfusi darah secepatnya. b. Stratifikasi Daerah Rawan DBD Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti : i. Endemis Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan (SMP), Abatisasi selektif, dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat . ii. Sporadis Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M, penyuluhan tetap dilakukan. iii. Potensial Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi dengan wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan jentik > 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
iv. Bebas
Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian
dari permukaan air laut > 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan
jentik ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan
• SEKUNDER
• DAHSYAT








HIV/AIDS
Definisi
A. Virus HIV
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Pada tahun-tahun pertama ditemukannya penyakit AIDS ini belum diketahui bahwa agennya adalah retrovirus, namun diperkirakan bahwa penyebabnya adalah agen yang dapat menular. Baru pada akhir tahun 1983, para peneliti menemukan satu jenis retrovirus yang mulanya diberi nama Lympadenopati associated virus, dan pada bulan Mei tahun 1986 disepakati menggunakan satu nama saja yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV).
B. Penyakit AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah Syndrome akibat
defisiensi immunitas selluler tanpa penyebab lain yang diketahui, ditandai
dengan infeksi oportunistik keganasan berakibat fatal. Munculnya Syndrome ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah, terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.
Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan
kedalam 2 kategori yaitu :
1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif).
7 tahun mendatang diperkirakan 10-30% diantaranya menjadi penderita AIDS.
Pada tingkat pandemi HIV tanpa gejala jauh lebih banyak dari pada penderita AIDS itu sendiri. Tetapi infeksi HIV itu dapat berkembang lebih lanjut dan menyebabkan kelainan imunologis yang luas dan gejala klinik yang bervariasi. AIDS merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai case fatality rate 100% dalam 5 tahun setelah diagnosa AIDS ditegakkan, maka semua penderita akan meninggal.

Sejarah AIDS dan Perkembangannya
Sindrome ini pertama sekali dilaporkan oleh Michael Gottlieb pada pertengahan tahun 1981 pada penderita pria homoseksual dan pecandu narkotik suntik di Los Angeles, Amerika Serikat. Sejak penemuan pertama inilah, dalam beberapa tahun dilaporkan lagi sejumlah penderita dengan sindrome yang sama dari 46 negara bagian Amerika Serikat lainnya.
Cepatnya penyebaran AIDS ini keberbagai benua, serta dampak yang terlihat pada penderita beserta keluarganya, disamping belum diketahuinya cara penanganan dan pengobatannya menyebabkan keresahan psikososial yang sangat besar dikalangan masyarakat dimana kasus AIDS banyak terjadi.
Etiologi AIDS
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, pengumpulan data epidimiologi dilakukan oleh Centres for Disease Control (CDC) yang berasal dari daerah epidemi mulai tahun 1991, ditemukan bahwa mayoritas penderita AIDS dewasa dilaporkan kaum homoseksual/biseksual adalah 59%, pengguna obat secara intravena 22% dan lakilaki homoseksual yang menggunakan obat secara intravena 7%. Pasangan seksual dari orang-orang tersebut diatas merupakan kelompok beresiko tinggi. Sekitar 90% kasus tersebut dilaporkan terjadi pada pria dan 19% pada wanita. Wanita yang berusia 20-44 tahun adalah kelompok usia terinfeksi yang tercepat. Sekitar 40-50% anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV ternyata seropositif terhadap HIV. Pasien hemofilia dan penerima tranfusi darah merupakan kelompok terkecil dan jumlahnya terus berkurang sejak dilakukan screening terhadap donor yang terkontaminasi HIV yang dilaksanakan sejak tahun 1985.
Secara umum dapat dipercaya bahwa kebanyakan penderita infeksi HIV akan menjadi penderita AIDS. Walaupun waktu terinfeksi HIV dengan diagnosa AIDS bervariasi, hasil penelitian melaporkan bahwa periode inkubasi sekitar 5-10. Dengan ditemukannya obat seperti zidovidume, yang juga dikenal sebagai azidothymidine (AZT), ternyata bahwa dapat memperpanjang masa inkubasi. Diperkirakan angka kematian 90% selama 3 tahun dengan diagnosa AIDS.

Pandemi global AIDS telah sampai di Indonesia. Kasus AIDS pertama di Indonesia pada tahun 1987 seorang wisatawan Belanda yang meninggal di Bali pada 1988. Enam tahun kemudian virus HIV telah terdeteksi di sembilan propinsi di Indonesia.
Menurut data Ditjen PPM dan PLP Departemen Kesehatan hingga bulan Mei 1998 telah tercatat 685 kasus HIV/ AIDS, diantaranya 184 penderita AIDS dan 501 penderita HIV yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Hal ini berarti terjadi peningkatan sebanyak 100 kali sejak tahun 1987 yang pada waktu itu baru tercatat
6 kasus.





Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin AIDS AIDS/IDU
Laki-laki 15168 7430
Perempuan 5306 611
Tak diketahui 90 49
Jumlah 20564 8090

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko
Faktor Resiko AIDS
Heteroseksual 10335
Homo-biseksual 679
IDU 8091
Transfusi Darah 20
Transmisi Prenatal 534
Tak diketahui 905

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur
Golongan Umur AIDS AIDS/IDU
< 1 206 0 1 – 4 247 0 5 – 14 123 8 15 – 19 637 138 20 – 29 10015 5186 30 – 39 6231 2192 40 – 49 1830 283 50 – 59 514 49 > 60 103 8
Tak Diketahui/Unknown 658 226

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Berdasarkan Provinsi













Patogenesis
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembangbiak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang diinfeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara
terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan
kerusakan neurologis.
Gambaran Klinik
Secara klinis gambaran penyakit yang diakibatkan oleh infeksi HIV ini dapat terlihat dalam 4 tahap berurutan. Tahap-tahap ini sangat berkolerasi dengan gambaran laboratorium akibat perubahan fungsi imunitas dan aktivitas virus.
1. Tahap pertama, tahap infeksi primer (primary infection)
Tahap ini terlihat setelah beberapa minggu terpapar HIV, ditandai dengan gejala demam, sakit tenggorokan, lesu dan lemas, sakit kepala, fotofobia, limpadenopati serta berecak makulopapular. Tahap ini biasanya berlangsung sekitar satu atau dua minggu lebih dan ditemukan pada hampir 70% peristiwa infeksi HIV.
2. Tahap kedua, tahap infeksi dini (early infection)
Tahap ini merupakan nama laten virus yang dapat berlangsung selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. Umumnya penderita asimtomatik kecuali beberapa diantaranya dengan limpadenopati umum.
3. Tahap ketiga, tahap infeksi menengah (middle infection)
Tahap ini itandai dengan munculnya kembali antigen HIV serta penurunan sel limfosit T sehinngga penderita menjadi sangat rentan terhadap berbagai
kondisi dan infeksi. Kandiasis di mulut dan oral hairy leukoplakia serinng terlihat pada tahap ini.
4. Tahap keempat, tahap sakit HIV berat (severe HIV disease)
Tahap ini ditandai dengan timbulnya infeksi oportunistik dan neoplasma yang menyebabkan keadaan sakit berat dengan angka kematian yang tinggi. Tahap inilah yang disebut AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
Pengalaman menunjukkan bahwa resiko masuknya ketahap sakit HIV berat atau AIDS meningkat sejalan dengan lamanya infeksi. Dalam keadaan penderita tidak mendapatkan pengobatan terhadap retrovirusnya, sekitar 50% penderita HIV ini sampai ketahap AIDS kira-kira sesudah 10 tahun.
Gejala Klinis AIDS
AIDS mempunyai spectrum yang luas pada gambaran klinis. Pada awal permulaan terdapat gejala-gejala seperti terkena flu. Penderita merasa lelah yang berkepanjangan dan tanpa sebab, kelenjar-kelenjar getah bening dileher, ketiak, pangkal paha membengkak selama berbulan bulan, nafsu makan menurun/hilang, demam yang terus menerus mencapai 39 derajat Celcius atau berkeringat pada malam hari, diarrhea, berat badan turun tampa sebab, luka-luka hitam pada kulit atau selaput lendir yang tidak bias ssembuh, batuk-batuk yang berkepanjangan dan dalam kerongkongan, mudah memar atau pendarahan tanpa sebab. Gejala-gejala awal ini sering disebut AIDS Related Complex (ARC). Bila keadaan penyakit ini meningkat, penyakit ganas lain berkembang seperti: radang paru (penumocytis carinii), kandiasis oesophagus, cytomegalovirus atau herpes, sarcoma kaposi, tumor ganas pembuluh darah.
Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai 4penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut :
• Rasa lelah dan lesu
• Berat badan menurun secara drastis
• Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
• Mencret dan kurang nafsu makan
• Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
• Pembengkakan leher dan lipatan paha
• Radang paru-paru
• Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara
lain tumor dan infeksi oportunistik :
1. Manifestasi tumor diantaranya;
a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh.
Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual,dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi Oportunistik diantaranya
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.

2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% perbulan.
3. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer.
Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnosis AIDS
Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau vagina. Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot.
Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah :
1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium).
2. Adanya tanda-tanda Immunodeficiency.
3. Adanya gejala infeksi oportunistik.
Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik
atau sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk
mendeteksi zat anti HIV (Elisa, Western Blot).
Cara Penularan
AIDS adalah merupakan penyakit yang fatal dan menular. Jalan utama untuk tranmisi HIV adalah kontak seksual (homoseksual atau heteroseksual) tranmisi jarum suntik dan alat kesehatan lain, tranmisi perinatal (dari ibu ke anak dalam persalinan), tranmisi darah dan produk darah serta tranmisi dalam pelayanan kesehatan yaitu pada pekerja rumah sakit yang berkontak dengan darah atau cairan tubuh pasien dengan infeksi HIV.
Sekalipun penyelidikan secara epidemologi menunjukkan bahwa darah dan semen merupakan jalur penularan utama virus AIDS, telah dilaporkan bahwa HIV juga ditemukan dalam saliva, air mata, air susu ibu dan urin. Penularan melalui saliva sampai saat ini memang diragukan karena jumlah virus dalam saliva amat kecil sehingga tidak potensial untuk penularan. Hasil beberapa penyelidikan menunjukkan bahwa sebenarnya saliva dapat menghambat virus HIV agar tidak menginfeksi limfosit manusia disamping fungsi saliva sendiri sebagai pelindung karena mengandung sejumlah protein saliva. Resiko penularan dalam tindakan kedokteran diperkirakan melalui saliva yang tercampur darah karena luka yang timbul dalam perawatan.
Disamping perawatan gigimemungkinkan terjadinya pendarahan, penggunaan hanplece berkecepatan tinggi, alat ultrasonic dan adanya kontak dengan sejumlah besar pasien juga memungkinkan terjadinya infeksi dan kontaminasi bagi dokter gigi sangat besar. Prosedur perawatan yang berakibat terjadinnya pendarahan adalah pencabutan gigi, pembedahan, perawatan periodontal, pembersihan karang gigi dan lain-lain. Pada dasarnya, instrumen yang menembus jaringan lunak atau yang akan menyebabkan pendarahan atau kontak dengan selaput lendir yang utuh seperti jarum suntik, jarum endodontik, tang ekstaksi merupakan instrumen yang tergolong beresiko tinggi.
Hingga saat ini belum terbukti bahwa AIDS dapat ditularkan oleh gigitan serangga, minuman, makanan atau kontak biasa dalam keluarga, sekolah, kolam renang, WC umum atau tempat kerja dengan penderita AIDS
Terapi
• Pengobatan
Kini terdapat banyak obat-obatan yang telah diakui untuk HIV. Sayangnya, tidak satupun dari obat-obatan ini mampu menyembuhkan HIV, dan tidak ada obat yang mampu efektif bila dikonsumsi sendirian (satu pil saja). Tapi bila beberapa obat (biasanya tiga butir) dikonsumsi dalam suatu kombinasi, obat-obatan tersebut mampu mengendalikan jumlah virus dalam tubuh serta mempertahankan kesehatan sistim kekebalan tubuh anda. Kombinasi ini disebut Highly Active Anti-Retroviral Therapy, atau HAART.
Obat-obatan HIV terdiri dari empat tipe atau "kelas":
• NRTI (nucleoside atau nucleotide reverse transcriptase inhibitor)
• NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor)
• PI (protease inhibitor)
• Fusion inhibitor
Ke empat kelas obat-obatan ini dirancang untuk menghalangi kemampuan HIV untuk mereplikasi diri -- yaitu, untuk berkembang dalam tubuh anda. Tiap kelas obat menghentikan virus pada saat-saat yang berbeda dalam siklus reproduksinya.
Anggap HIV sebagai pabrik kembangbiak dalam sebuah sel T. Ia ingin berkembang dalam tubuh anda dan membuat duplikasi dirinya.
• NRTI bekerja seperti batu bata yang pecah sehingga pabrik yang akan dibangun HIV dalam sel T anda terdiri dari batu bata pecah.
• NNRTI bekerja seperti mandor buruk yang selalu memberi petunjuk yang salah kepada HIV dalam proses pembangunan.
• Protease inhibitor adalah para pekerja yang mengimbuhi komponen-komponen rusak dalam tiap virus baru dalam jalur asembli.
• Fusion inhibitor bekerja seperti gembok pada pintu gerbang pabrik yang menghalangi HIV untuk masuk.
Upaya Pencegahan

Mengingat sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk mencegah AIDS belum ditemukan, maka alternatif untuk menanggulangi masalah AIDS yang terus meningkat ini adalah dengan upaya pencegahan oleh semua pihak untuk tidak terlibat dalam lingkaran transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV.
Pada dasarnya upaya pencegahan AIDS dapat dilakukan oleh semua pihak asal mengetahui cara-cara penyebaran AIDS.

Ada 2 cara pencegahan AIDS yaitu jangka pendek dan jangka panjang :

1. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek
Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya.
Ada 3 pola penyebaran virus HIV :
1. Melalui hubungan seksual
2. Melaui darah
3. Melaui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya
Ad.1. Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual
HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah. HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melaui hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah dengan cara :
• Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis.
• Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami)
• Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
• Hindari hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi tertular AIDS.
• Tidak melakukan hubungan anogenital.
• Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.

Ad.2. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah
Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan :
− Transfusi darah yang mengandung HIV.
− Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai
orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik.
− Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap
virus HIV.
Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah
adalah:
− Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab memerlukan biaya yang tingi serta peralatan canggih karena prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan donor darah hanya dengan uji
petik.
− Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai harus di buang.
− Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali habis dipakai.
− Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus disterillisasikan secara baku.
− Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.
− Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)
− Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.

Ad.3. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Ibu
Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi di lahirkan.
Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV tidak hamil.

2. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Panjang
Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagian besar adalah karena hubungan seksual, terutama dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang Indonesia adalah mereka yang pernah ke luar negeri dan mengadakan hubungan seksual dengan orang asing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiko penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8%. Namun ada penelitian lain yang berpendapat bahwa resiko penularan suami ke istri atau istri ke suami dianggap sama. Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi hubungan seksual yang dilakukan suami istri. Mengingat masalah seksual masih merupakan barang tabu di Indonesia, karena norma-norma budaya dan agama yang masih kuat, sebetulnya masyarakat kita tidak perlu risau terhadap penyebaran virus AIDS. Namun demikian kita tidak boleh lengah sebab negara kita merupakan negara terbuka dan tahun 1991 adalah tahun melewati Indonesia.
Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah merajalelanya AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab.
Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah :
a. Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.
b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV (monogamy).
c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila.
d. Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra seksual.
e. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.
f. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
g. Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS.
h. Tidak melakukan hubungan anogenital.
i. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual.
Kegiatan tersebut dapat berupa dialog antara tokoh-tokoh agama, penyebarluasan informasi tentang AIDS dengan bahasa agama, melalui penataran P4 dan lain-lain yang bertujuan untuk mempertebal iman serta norma-norma agama menuju perilaku seksual yang bertanggung jawab.
Dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit AIDS di Indonesia.













DAFTAR PUSTAKA
Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-1207.
Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15 th, Nelson, W.B.Saunders Company, 1996, 815 -817.
Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds. Nelson Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders Company, 1987, 617 - 620.
Glickman J, Scott K.J, Canby R.C: Infectious Disese, Phantom notes medicine ,ed. 6 th, Info Acces and Distribution Ltd, Singapore,1995, 53-55.
Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230
Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th, McGrawHill. Inc,New York, 1994, .577-579.
Hendarwanto: llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1987,
49- 51.
Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in babies Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25, Paeditrica Indonesiana, Departement of Child Health, Medical School University of lndonesia, Sept-Okt 1985, 167 -174.
Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C ; Infectious diiseases of children, ed. 9 th, St Louis, Mosby, 1992, 487-490
Lubis, CP: Management of Tetanus in Children, Paeditricaa Indonesiana, vol.33, Depart. Of Child Health, Medical School, University of Indonesia, Sept-Okt 1993, 201-208.
Lubis, CP :Tetanus Neonatorum dan anak, Diktat Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Peny. lnfeksi, bag II, Balai Penerbit FK USU, Medan, 1989, 21-40.
Menkes, JH: Textbook of child Neurology, in Tetanus Neonatorun, ed. 3 th, Lea and Frebringer, Philadelphia, 1985, 521-522.
Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th, American Academy of Pediatrics, 1997, 518-519.
Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press Ltd, New York, 1991, 603 -620..
Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus , Arbor Publishing Coorp. Neurobase,1993, 1- 13.
Samuels, AM. Tetanus, Maanual of Neurologic Therapeutic, ed. 2 nd, Ljttle Brown, and Company, Boston, 1978, 387-390.
Scaletta, T A. Schaider, JJ. Infection prophylaxjs, Emergent Management of Trauma, 1 th ed, McGrawhill, Toronto, 1996, 437-438.
Simon, Roger.P.MD, et. all : Tetanus in: Clinical Neurology, ed 1989,Appleton and Lange,USA, 141-142.
Wegwood, RJ .Davis, DS. Ray, GC. Kelley, Vc: Infections of Children, 2 nd ed, Philadelphia, 1982, 626-636.
http://www.scribd.com/doc/26773679/Laporan-Penelitian-Demam-Berdarah-Dengue-PBL-II-UNS-Surakarta
http://www.mail-archive.com/dokter_umum@yahoogroups.com/msg06092.html
http://www.scribd.com/doc/26773679/Laporan-Penelitian-Demam-Berdarah-Dengue-PBL-II-UNS-Surakarta


KELOMPOK 10 : DUNGGA RULLY N
DINI RAMADHANI K
VERA FEBRYANI

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS