RSS

payah jantung, jantung rematik, dan bedah jantung

kelompok 8 :
1. aprilia herawati
2. astrid amelia
3. fierda rizanty
4. litania sekarsari

PAYAH JANTUNG/GAGAL JANTUNG
• DEFINISI
Gagal jantung adalah kondisi di mana otot jantung tidak dapat memompa darah yang cukup ke tubuh. “Gagal” di sini bukan berarti jantung Anda berhenti bekerja, karena jantung tidak boleh berhenti bekerja agar Anda tetap hidup. Beberapa dokter lebih menyukai istilah “payah jantung” agar tidak menimbulkan salah penafsiran pada orang awam.
Payah Jantung adalah suatu keadaan dimana jantung sudah tidak mampu lagi memberikan darah kaya oksigen ke organ-organ tubuh yang membutuhkan.Payah jantung disebabkan oleh apa saja yang dapat memperberat beban jantung dalam waktu yang lama. Oleh karena beban jantung bertambah , kerja otot jantung memompa darah lebih lebih berat dari jantung orang normal. Kekuatan pompa jantung tidak sekuat jantung normal lagi. Bisa terjadi pada jantung kiri, jantung kanan, atau pada kedua-duanya.
Gagal jantung atau payah jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh sesak napas (dispneu) dan mudah lelah (fatigue), baik pada saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, yang mengganggu kemampuan ventrikel (bilik jantung) untuk mengisi dan mengeluarkan darah ke sirkulasi.
Gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan regulasi neurohormonal, disertai dengan intoleransi kemampuan kerja fisis retensi cairan, dan memendeknya umur hidup.
Karena jantung tidak dapat memompa dengan baik, tubuh mencoba untuk mengkompensasinya dengan menahan garam dan air (sehingga jumlah darah dalam sirkulasi meningkat), meningkatkan denyut jantung, dan membuat jantung Anda membesar/ membengkak. Sampai tingkat tertentu, upaya tubuh mengimbangi kelemahan jantung itu berhasil sehingga Anda masih bisa menjalani kehidupan sehari-hari. Namun, karena gagal jantung memiliki kecenderungan progresif, pada titik tertentu tubuh Anda tidak lagi dapat mengkompensasi. Pada saat itu cairan mulai menumpuk di paru-paru dan bagian tubuh Anda lain. (Itulah mengapa juga disebut gagal jantung kongestif, karena menimbulkan “kemacetan” sirkulasi darah).

• ETIOLOGI
Payah jantung disebabkan oleh apa saja yang dapat memperberat beban jantung dalam waktu yang lama. Oleh karena beban jantung bertambah , kerja otot jantung memompa darah lebih lebih berat dari jantung orang normal.
Akibat kerja berat, lama-lama otot jantung menjadi melar. Semakin lama memikul tambahan beban memompa , otot jantung berubah semakin besar-besar , menjadikan jantung bertambah bengkak.
Kekuatan memompa otot jantung yang sudah melar dan bengkak tidak sekuat dan seefektif jantung normal lagi.
Penyebab payah jantung :
Peningkatan beban awal (preload) misalnya pada regurgitasi mitral
Penurunan pengisian ventrikel (mitral stenosis)
Kelemahan otot jantung (miokard infark, kardiomiopati)
Peningkatan afterload (hipertensi, koartasio aorta)
Hilangnya peran sistolik atrium (fibrilasi atrium, hipertrofi atrium)
Peningkatan beban metabolik (tirotoksikosis, anemia)
Penurunan mengembang ventrikel (hipertrofi ventrikel, amiloidosis, kardiomipoati hipertrofi)
Darah tinggi yang tidak terkendali, Tekanan darah tinggi terus-menerus membuat jantung bekerja keras dan menyebabkan penebalan otot jantung. Tiga perempat dari semua orang yang terkena gagal jantung adalah penderita hipertensi atau penyakit jantung koroner.
Penyakit jantung koroner, Penyumbatan arteri koroner dalam serangan jantung menghentikan aliran darah sehingga otot-otot jantung mati karena kekurangan oksigen.
Penyakit jantung katup
Kencing manis/ Diabetes. Diabetes yang tidak terkelola dapat menimbulkan komplikasi gagal jantung.
Penyakit otot jantung
Infeksi virus
Penyalahgunaan alkohol dalam jangka panjang.
Penggunaan obat tertentu. Obat penyakit jantung dan diabetes tertentu dapat menyebabkan perkembangan atau memperburuk gagal jantung kongestif. Hal ini terutama pada obat yang dapat menyebabkan retensi natrium atau memengaruhi kekuatan otot jantung.
Tergantung apakah kelemahan jantung terdapat pada sisi ventrikel kiri, ventrikel kanan atau kedua-duanya, gejala khas gagal jantung berikut:
Kelelahan, kelemahan, mengantuk, limbung dan berdebar-debar (palpitasi). Jantung yang lemah tidak bisa memompa cukup darah ke dalam aliran darah. Akibatnya, organ-organ tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen dan nutrisi. Hasilnya adalah kelelahan umum dan kelemahan, yang dapat meningkat sampai kondisi pusing dan limbung.
Sesak napas. Karena kapasitas pemompaan berkurang,darah menumpuk sebelum ventrikel kiri. Darah kaya oksigen di ventrikel kiri yang mengalir dari paru-paru itu seharusnya dipompa oleh jantung ke dalam sirkulasi. Penumpukan darah menyebabkan sesak napas. Awalnya, sesak napas terasa hanya selama kegiatan fisik karena saat itu tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen dan jantung harus berdenyut lebih cepat. Jantung yang lemah tidak bisa melakukannya. Pada tahap selanjutnya, sesak napas terasa bahkan pada saat beristirahat. Berbaring mendatar dapat menyebabkan Anda kesulitan bernapas. Kondisi ini dikenal sebagai ortopnea. Tingkat keparahan gejala ini biasanya tergantung pada seberapa datar Anda mulai merasakan sesak napas. Untuk mengukur tingkat keparahannya, dokter sering menanyakan berapa banyak bantal yang digunakan untuk menghindari sesak napas di tempat tidur. Sebagai contoh, ortopnea “tiga-bantal” lebih buruk dari ortopnea “dua-bantal” karena Anda memiliki toleransi lebih sedikit untuk berbaring datar.
Pada fase awal, penderita akan merasakan mudah lelah dan sesak napas (tersengal-sengal) pada waktu melakukan aktifitas fisik yang berat. Kadangkala penderita terbangun tengah malam karena sesak napas. Selain gejala diatas pada umumnya penderita juga mengalami pembengkakan kaki yang akan berkurang bila kaki diletakkan pada posisi yang lebih tinggi.
Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation), emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure, gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems), intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam kategori utama:
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.





Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus
♣ Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri koroner, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral, dan penyakit perikardial.
♣ Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.
Penyebab yang sering adalah menurunnya kontraktilitas miokard akibat Penyakit Jantung Koroner, Kardiomiopati, beban kerja jantung yang meningkat seperti pada penyakit stenosis aorta atau hipertensi, kelainan katup seperti regurfitasi mitral.
Penyebab Frekuensi relatif
Kardiomiopati dilated / tidak diketahui 45%
Penyakit Jantung Iskemik 40%
Kelainan katup 9%
Hipertensi 6%

Sumber : Cardiology and Respiratory Medicine 2001

Selain itu ada pula faktor presipitasi lain yang dapat memicu terjadinya gagal jantung, yaitu :
• Kelebihan Na dalam makanan
• Kelebihan intake cairan
• Tidak patuh minum obat
• Iatrogenic volume overload
• Aritmia : flutter, aritmia ventrikel
• Obat-obatan: alkohol, antagonis kalsium, beta bloker
• Sepsis, hiper/hipotiroid, anemia, gagal ginjal, defisiensi vitamin B, emboli paru.

• EPIDEMIOLOGI
Gagal jantung merupakan suatu sindrom, bukan diagnosa penyakit. Sindrom gagal jantung kongestif (Chronic Heart Failure/ CHF) juga mempunyai prevalensi yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang buruk. Prevalensi CHF adalah tergantung umur/age-dependent. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun.
Prevalensi gagal jantung kronik diprediksi akan makin meningkat seiring dengan meningkatnya penyakit hipertensi, diabetes melitus dan iskemi terutama pada populasi usia lanjut. Makin tua populasi dan makin berhasilnya pengobatan infark miokard akut membuat prevalensi gagal jantung kronik makin meningkat. Insiden penyakit gagal jantung makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Kasus ini meningkat 11,6 pada manula dengan usia 85 tahun ke atas.1,3,4,5 Saat ini diperkirakan hampir 5 juta penduduk di AS menderita gagal jantung, dengan 550.000 jumlah kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya. Di samping itu gagal jantung kronis juga menjadi penyebab 300.000 kematian setiap tahunnya. Lebih dari 34 milyar USD dibutuhkan setiap tahunnya untuk perawatan medis penderita gagal jantung kronis ini. Bahkan di Eropa diperkirakan membutuhkan sekitar 1% dari seluruh anggaran belanja kesehatan masyarakat. Prevalensi penyakit ini meningkat sesuai dengan usia, berkisardari <1% pada usia <50 tahun hingga 5% pada usia 50-70 tahun dan 10% pada usia >70 tahun.1,3,4,5
Gagal jantung merupakan masalah epidemik kesehatan masyarakat di Amerika. Sekitar 5 juta warga Amerika mengalami gagal jantung dengan penambahan 550.000 kasus didiagnosis setiap tahunnya (Dipiro et al, 2008). Hanya 3 tahun pasien yang baru didiagnosa gagal jantung dapat bertahan hidup rata-rata 5 tahun (Goodman and Gilman, 2007).

• PATOGENESA / PATOFISIOLOGI
Patofisiologi
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal jantung akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP( Left Atrium Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru.
Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang disebut dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.

Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi gagal jantung:
1. Mekanisme neurohormonal
Pengaturan neurohormonal melibatkan sistem saraf adrenergik (aktivasi sistem saraf simpatis akan meningkatkan kadar norepinefrin), sistem renin-angiotensin, stres oksidatif (peningkatan kadar ROS/reactive oxygen species), arginin vasopressin (meningkat), natriuretic peptides, endothelin, neuropeptide Y, urotensin II, nitric oxide, bradikinin, adrenomedullin (meningkat), dan apelin (menurun).
2. Remodeling ventrikel kiri
Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan memburuknya kemampuan ventrikel di kemudian hari.

3. Perubahan biologis pada miosit jantung
Terjadi hipertrofi miosit jantung, perubahan komplek kontraksi-eksitasi, perubahan miokard, nekrosis, apoptosis, autofagi.

4. Perubahan struktur ventrikel kiri
Perubahan ini membuat jantung membesar, mengubah bentuk jantung menjadi lebih sferis mengakibatkan ventrikel membutuhkan energi lebih banyak, sehingga terjadi peningkatan dilatasi ventrikel kiri, penurunan cardiac output, dan peningkatan hemodynamic overloading.

Patogenesis Gagal Jantung Kongestif

− Gangguan katup jantung aliran darah jantung terganggu gangguan pengisisan darah
ventrikel gangguan kontraksi ventrikel gagal jantung.
− Hipertensi penyempitan pembuluh darah jantung aliran darah ke jantung berkurang hipoksia miokard ischemia miokard gangguan kontraksi ventrikel gagal jantung.
− Kelemahan miokard kontraksi ventrikel melemah gagal jantung
− Sindrom Koroner Akut( SKA) arteriosklerosis arteri koronaria hipoksia miokard ischemia miokard gangguan kontraksi ventikel gagal jantung.
− CPC hipertensi pulmonal aliran darah balik ke ventrikel kanan ventrikel kanan bekerja lebih keras hipertrofi.


Sifat Nyeri pada Pasien dengan Decompensasi Cordis
1. Akut
Timbul secara mendadak dan segera lenyap bila penyebab hilang. Ditandai oleh : nyeri seperti tertusuk benda tajam, pucat, disritmia, tanda syock kardiogenik (akral dingin gan perfusi turun)
2. Kronis
Nyeri yang terjadi berkepanjangan hingga berbulan-bulan. Penyebab sulit dijelaskan dan gejala obyektif lidak jelas umumnya disertai dengan gangguan kepribadian serta kemampuan fungsional
Derajat nyeri
1. Ringan : tidak mengganggu ADL dan pasien dapat tidur
2. Sedang : mengganggu ADL dan pasien dapat tidur
3. Berat : mengganggu ADL dan pasien tidak dapat tidur
• GAMBARAN KLINIK, SYMPTON
Manifestasi utama gagal jantung adalah sesak dan lelah, yang menyebabkan intoleransi latihan dan overload cairan, mengakibatkan sumbatan paru dan udema perifer. Tanda dan gejala gagal jantung disajikan pada tabel di bawah ini (Dipiro et al, 2008):
Tabel I. Tanda dan Gejala Gagal Jantung
Gejala Tanda
1. Lemas
2. Sesak
3. Kejang
4. Intoleransi beraktivitas
5. Nafas cepat
6. Batuk
7. Nokturia : urinisasi di malam hari
8. Dahak berdarah
9. Nyeri abdomen
10. Anoreksia : tidak nafsu makan
11. Mual
12. Kembung
13. Perasaan kenyang
14. Ascites : akumulasi cairan di abdomen 1. Rales paru : suara paru abnormal Paru edema
2. S3 gallop : kelainan suara jantung
3. Takikardia
4. Penyempitan nadi
5. LCool extremities
6. Pleural efusi
7. 7. Cheyne-Stokes respiration
8. Takikardi
9. Kardiomegali
10. Edema perifer
11. Jugular venous distension
12. Hepatomegali
Gejala Klinik Payah Jantung
• Fisik: (banyak gejala pernafasan)
• Rasa lelah
Kelelahan, kelemahan, mengantuk, limbung dan berdebar-debar (palpitasi). Jantung yang lemah tidak bisa memompa cukup darah ke dalam aliran darah. Akibatnya, organ-organ tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen dan nutrisi. Hasilnya adalah kelelahan umum dan kelemahan, yang dapat meningkat sampai kondisi pusing dan limbung.
• Palpitasi (Rasa jantung berdebar-debar
• Batuk-batuk
Batuk, batuk dahak berdarah, suara nafas mendesis (mengi). Karena tumpukan darah di paru-paru, pembuluh-pembuluh darah kecil di sekitar alveoli mendapatkan tekanan berat. Serum darah dapat merembes dari kapiler halus ke dalam alveoli. Hal ini dapat mengembangkan edema paru (akumulasi cairan di paru-paru). Fungsi paru-paru akan terganggu dan membuat Anda kesulitan bernapas. Anda seringkali terbatuk-batuk, yang dapat disertai dahak berdarah. Napas Anda bersuara mendesis.
• Dyspnea on Exertion (bila aktivitas berat)
• Sesak nafas (wheezing)
Karena kapasitas pemompaan berkurang,darah menumpuk sebelum ventrikel kiri. Darah kaya oksigen di ventrikel kiri yang mengalir dari paru-paru itu seharusnya dipompa oleh jantung ke dalam sirkulasi. Penumpukan darah menyebabkan sesak napas. Awalnya, sesak napas terasa hanya selama kegiatan fisik karena saat itu tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen dan jantung harus berdenyut lebih cepat. Jantung yang lemah tidak bisa melakukannya. Pada tahap selanjutnya, sesak napas terasa bahkan pada saat beristirahat. Berbaring mendatar dapat menyebabkan Anda kesulitan bernapas. Kondisi ini dikenal sebagai ortopnea. Tingkat keparahan gejala ini biasanya tergantung pada seberapa datar Anda mulai merasakan sesak napas. Untuk mengukur tingkat keparahannya, dokter sering menanyakan berapa banyak bantal yang digunakan untuk menghindari sesak napas di tempat tidur. Sebagai contoh, ortopnea “tiga-bantal” lebih buruk dari ortopnea “dua-bantal” karena Anda memiliki toleransi lebih sedikit untuk berbaring datar.
• Orthopnea (dyspnea bila berbaring/tidur)
• Anoreksia
• Nyeri Perut (hepatomegali)
Gejala Klinik Payah Jantung
Pada Payah Jantung Kiri:
• Takipnea (pernafasan cepat) bila minum,
• istirahat dan/atau tidur
• Batuk-batuk sering
• Pada Payah Jantung Kanan:
• Edema umum
Penumpukan cairan (edema) di organ tubuh lain. Penumpukan darah akibat kelemahan jantung di ventrikel kanan menghalangi sistem vena. Hal ini dapat memengaruhi semua organ dan semua bagian tubuh. Akibatnya, mungkin terjadi perpanjangan urat leher atau akumulasi cairan di antara paru dan dinding dada. Ruang ini adalah rongga pleura. Akumulasi cairan yang disebut efusi pleura ini menyebabkan nyeri dada dan sesak napas. Kemacetan di perut dapat menyebabkan pembesaran hati (hepatomegali) dan mungkin limpa (splenomegali). Hal ini menyebabkan keterbatasan fungsional organ-organ itu. Seringkali, aliran empedu terhambat sehingga menimbulkan gejala penyakit kuning. Jantung mungkin membesar. Dalam kasus yang parah, retensi cairan terjadi di dalam perut sehingga membusung. Istilah teknis untuk ini adalah ascites. Retensi air juga mungkin terjadi di lengan dan kaki, terutama pergelangan kaki dan tungkai bawah.
• Sianosis ringan
• Hepatomegali

Sympton
Pada tahap simptomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat capek, sesak napas, kardiomegali, peningkatan JVP, ascites, hepatomegali dan edema sudah jelas, maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri, maka keluhan fatig dan keluhan diatas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rongen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak gagal jantung sampai edema atau acites hilang. ACE inhibitor atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal.
Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supraventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (<3,5 meq/L). Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini. Pemakaian alat bantu Cardiac Resychronization Theraphy (CRP) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra Cardiac Defibrillator) sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun noniskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. • KLASIFIKASI PENYAKIT Klasifikasi gagal jantung (menurut Killip) 1. Tidak gagal 2. Gagal ringan sampai menengah 3. Edema pulmonal akut 4. Syock kardiogenik Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik: o Klas I: tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada aktivitas yang lebih berat dari aktivitas sehari-hari. o Klas II: gejala timbul pada aktivitas sehari-hari. o Klas III: gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari. o Klas IV: gejala timbul pada saat istirahat. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria mayor: 1. Paroxismal Nocturnal Dispneu 2. distensi vena leher 3. ronkhi paru 4. kardiomegali 5. edema paru akut 6. gallop S3 7. peninggian tekanan vena jugularis 8. refluks hepatojugular Kriteria minor: 1. edema ekstremitas 2. batuk malam hari 3. dispneu de effort 4. Hepatomegali 5. efusi pleura 6. Takikardi 7. penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal Kriteria mayor atau minor Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi.
• PEMERIKSAAN LABORATORIUM / PENUNJANG
* Tes darah
* Rontgen toraks
* Elektrokardiogram (EKG) untuk memeriksa sistem listrik jantung Anda
* Echokardiogram untuk melihat ukuran dan bentuk jantung Anda dan seberapa baik memompa.
* Kateterisasi jantung untuk memeriksa jantung dan pembuluh arteri koroner.
* Tes stres jantung untuk mencari penyakit arteri koroner.

Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan gagal jantung antara lain:
1. CAD (angina atau MI)
2. Hipertensi kronis
3. Idiopathic dilated cardiomyopathy
4. Valvular heart disease (misalnya, mitral regurgitation, aortic stenosis)
5. Cardiomyopathy lainnya (misalnya, sarcoidosis)
6. Arrhythmia (misalnya, atrial fibrillation)
7. Anemia
8. Overload volume cairan yang disebabkan oleh kondisi noncardiac
9. Penyakit thyroid (hypothyroidism atau hyperthyroidism)

Tinjauan (Pencitraan) Radiologis
a. Echocardiography (ECG)
Echocardiography merupakan pemeriksaan yang lebih disukai (preferred examination). Doppler echocardiography dua-dimensi dapat digunakan untuk menentukan penampilan LV sistolik dan diastolik, cardiac output (ejection fraction), serta tekanan pengisian ventrikel dan arteri pulmoner (pulmonary artery and ventricular filling pressures). Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit valvular yang penting secara klinis.

b. Radiography
Pada kasus-kasus kardiogenik, radiograph dapat menunjukkan cardiomegaly, pulmonary venous hypertension, dan pleural effusions. Pulmonary venous hypertension (PVH) dapat dibagi menjadi 3 tingkatan (grade).
Pada grade I PVH, pemeriksaan upright menunjukkan redistribusi aliran darah ke bagian nondependent dari paru-paru dan lobus atas.
Pada grade II PVH, ada bukti interstitial edema dengan ill-defined vessels dan peribronchial cuffing, juga penebalan septum interlobular.
Pada grade III PVH, terdapat pengisian airspace lobus-bawah dan perihilar, dengan ciri utama (ke-khas-an) konsolidasi (misalnya, confluent opacities, air bronchogram dan ketidakmampuan untuk melihat pembuluh darah pulmo di daerah yang tidak normal). Edema airspace cenderung menuju ke (to spare) perifer di pulmo bagian atas dan tengah.
Pada kasus-kasus noncardiogenic, kardiomegali dan efusi pleura biasanya tidak ada. Mungkin ada edema interstitial namun lebih sering consolidative. Tidak ada cephalization aliran yang dicatat, meskipun kemungkinan ada perubahan (shift) aliran darah ke area yang kurang/sedikit affected. Edema yang terjadi bersifat difus dan tidak menuju ke perifer pulmo bagian atas atau tengah.
Pada kasus-kasus yang lebih luas, infark miokard akut, dan infark katub mitral membantu apparatus memproduksi pola atipikal edem pulmoner yang menyerupai edema noncardiogenic pada pasien yang pada kenyataannya memiliki edema cardiogenic.
Pada kasus-kasus yang secara klinis membingungkan atau menyulitkan, suatu multidetector-row gated CT scanning dapat memberikan analisis yang baik sekali untuk jantung dan menampakkan sifat dasar/alamiah dari edema pulmoner.

Menurut Bashore TM, Granger CB, Hranitzky P, Patel MR (2009), ECG dapat mengindikasikan suatu aritmia sekunder yang mendasari, infark miokard, atau perubahan nonspesifik yang sering termasuk voltage rendah, defek konduksi intraventrikuler, LVH, dan perubahan repolarisasi nonspesifik. Radiograf dada menyediakan informasi tentang ukuran dan bentuk dari cardiac silhouette. Cardiomegaly merupakan penemuan penting dan sebagai tanda prognostik yang lemah (poor). Bukti hipertensi vena pulmoner termasuk dilatasi relatif upper lobe veins, edema perivaskuler (haziness of vessel outlines), edema interstitial, cairan alveolar. Pada gagal jantung akut, penemuan ini berkorelasi cukup baik dengan tekanan vena pulmoner.
Bagaimanapun juga, pasien dengan gagal jantung kronis dapat menunjukkan vaskularisasi pulmo yang normal (normal pulmonary vasculature) meskipun tekanan meningkat dengan jelas. Efusi pleura umum terjadi dan cenderung bilateral atau mengenai sisi kanan (right sided).
Penemuan (Findings)
Dua prinsip utama radiografi dada (chest radiograph) bermanfaat untuk evaluasi pasien dengan CHF (congestive heart failure), yaitu:
(1) Ukuran dan bentuk dari cardiac silhouette.
(2) Edema di dasar paru-paru (lung bases).

Ukuran dan bentuk cardiac silhouette menyediakan informasi penting mengenai ketepatan sifat alami/dasar dari penyebab yang mendasari penyakit jantung.
Baik CTR (cardiothoracic ratio) maupun volume jantung, seperti tampak pada plain film, relatif spesifik namun merupakan indikator yang insensitive untuk peningkatan LV end-diastolic volume.
Ada korelasi kebalikan yang lemah (weak inverse) antara CTR dan LV ejection fraction (LVEF) pada pasien dengan gagal jantung. Hubungannya tidak bermanfaat secara klinis pada pasien individu.
Pada keadaan tekanan vena dan kapiler pulmoner normal, basal paru perfused lebih baik daripada apeksnya saat pasien pada posisi erect, dan pembuluh darah mensuplai lobus bawah lebih luas secara signifikan dibandingkan dengan suplai lobus atas. Dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner dan atrium kiri, berkembanglah edema perivaskuler dan interstitial; edema paling jelas di basal paru karena tekanan hidrostatik lebih besar disana.
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) sedikit meninggi (13-17 mm Hg), resultant compression dari pembuluh darah pulmoner di lobus bawah menyebabkan persamaan (equalization) dalam ukuran pembuluh darah tersebut di apeks dan basis (pada awal grade I PVH).
Saat peningkatan tekanan lebih besar (18-23 mm Hg), redistribusi vaskuler pulmoner yang aktual menuju bagian nondependent pulmo memang terjadi (yakni, dengan "the patient in an upright patient", ada konstriksi lebih lanjut pembuluh darah yang menuju ke lobus bawah, dan dilatasi pembuluh darah yang menuju ke lobus atas).
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) melebihi 20-25 mm Hg, terjadi interstitial pulmonary edema (grade II PVH). Dengan grade II PVH, ada bukti interstitial edema, dengan ill-defined vessels dan peribronchial cuffing, juga penebalan septum interlobular. Penebalan septum interlobular ini sering disebut sebagai Kerley B lines. Penumpulan awal sudut costophrenic lateral dan posterior dapat terjadi. Penumpulan tersebut mengindikasikan adanya cairan pleura (pleural fluid).
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) melebihi 25 mm Hg, images menunjukkan efusi pleura yang luas dan grade III PVH, dengan consolidative alveolar edema di distribusi lobus bawah dan perihilar.
Dengan adanya peninggian tekanan vena sistemik, vena azygos, brachiocephalic veins, dan superior vena cava dapat melebar. Pada pasien dengan gagal ventrikel kiri kronis, tekanan kapiler pulmoner yang lebih tinggi dapat diakomodasi dengan tanda-tanda klinis dan radiologis, karena enhanced lymphatic drainage.
Penelitian pada 22 pasien dengan gagal jantung tingkat lanjut yang ditunjuk untuk evaluasi cardiac transplant dan yang memiliki pengukuran pulmonary capillary wedge pressure 25 mm Hg atau lebih, 68%-nya tidak memiliki kongesti pulmoner (atau jika ada, minimal),seperti ditunjukkan pada radiografi dada.
Intinya, penemuan CHF yang khas pada plain radiograph adalah cardiomegaly; grade I, II, atau III PVH; dan peningkatan central systemic venous volume, dengan pelebaran (enlargement) vena mediastinum (termasuk azygous vein) dan efusi pleura.

Derajat Kepercayaan
Derajat kepercayaan (degree of confidence) plain radiograph rendah. Lemahnya korelasi negative antara CTR dan fraksi ejeksi tidak menentukan keakuratan fungsi sistolik saat tidak adanya bukti radiografis PVH atau efusi pleura pada pasien dengan gagal jantung. Untuk alasan inilah, radiograf dada mungkin tidak bermanfaat untuk menentukan tipe disfungsi ventrikel kiri. Selama fase pengobatan CHF, penemuan radiograf dada seringkali bertolak belakang dengan perbaikan klinis.

False Positives/Negatives
Penemuan false-negative sering ditemukan Electrocardiography. Pada kasus-kasus cardiogenic, ECG dapat menunjukkan bukti adanya MI atau iskemia. Pada kasus-kasus noncardiogenic, ECG biasanya normal. Keterbatasan Teknik Meskipun echocardiography sederhana dan noninvasive, ternyata tidak cukup pada 8-10% kasus. Sebagai tambahan, hasilnya sulit diinterpretasikan/ diterjemahkan pada pasien dengan penyakit paru-paru (lung disease).



Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan :
• Pemeriksaan Rontgen thorax
Nilai besar jantung, ada/tidaknya edema paru dan efusi pleura. Tapi banyak juga pasien CHF tanpa disertai kardiomegali.
• Pemeriksaan EKG
Nilai ritmenya, apakah ada tanda dari strain ventrikel kiri, bekas infark miokard dan bundle branch block (Disfungsi ventrikel kiri jarang ditemukan bila pada EKG sadapan a-12 normal).
• Echocardiography
Mungkin menunjukkan adanya penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, pembesaran ventrikel dan abnormalitas katup mitral.
Pengujian Laboratorium
1. Elektrokardiogram banyak menunjukkan kelainan termasuk perubahan ST-T gelombang
2. Menghitung darah lengkap
3. Rotgen
4. Echocardiogram
5. Serum sodium <130mEq/L (Dipiro et al, 2008). • DIAGNOSA Untuk menentukan diagnosa dari CHF pada lansia cukup sulit. Gejala yang ada tidaklah khas. Gejala-gejala seperti sesak nafas saat beraktivitas atau cepat lelah seringkali dianggap sebagai salah satu akibat proses menua atau dianggap sebagai akibat dari penyakit penyerta lainnya seperti penyakit paru, kelainan fungsi tiroid, anemia, depresi, dll. Pada usia lanjut, seringkali disfungsi diastolik diperberat oleh PJK. Iskemia miokard dapat menyebabkan kenaikan tekanan pengisian ke dalam ventrikel kiri dan juga tekanan vena pulmonalis yang meningkat, sehingga mudah terjadi udem paru dan keluhan sesak nafas. Gejala yang sering ditemukan adalah sesak nafas, orthopnea, paroksismal nokturnal dispnea, edema perifer, fatique, penurunan kemampuan beraktivitas serta batuk dengan sputum jernih. Sering juga didapatkan kelemahan fisik, anorexia, jatuh dan konfusi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nilai JVP (Jugularis Venous Pressure) meninggi. Sering juga terdapat bunyi jantung III, pitting udem, fibrilasi atrial, bising sistolik akibat regurgitasi mitral serta ronkhi paru. Dokter akan mendiagnosis gagal jantung berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik. Tes penunjang dibutuhkan untuk mengetahui penyebab dan jenis gagal jantung Anda agar bisa mendapatkan perawatan yang tepat. Tes-tes tersebut mungkin termasuk: • Pemeriksaan fisik oleh dokter (dokter umum atau dokter ahli jantung) • Foto Rontgen dada (nampak pembesaran jantung) • EKG (Elektro Kardiografi) • Echocardiografi • Treadmill test • Cardiac MSCT • Angiografi (foto pembuluh darah menggunakan kontras) • Tes darah • Rontgen toraks • Elektrokardiogram (EKG) untuk memeriksa sistem listrik jantung Anda • Echokardiogram untuk melihat ukuran dan bentuk jantung Anda dan seberapa baik memompa. • Kateterisasi jantung untuk memeriksa jantung dan pembuluh arteri koroner. • Tes stres jantung untuk mencari penyakit arteri koroner. • KOMPLIKASI Manifestasi klinis gagal jantung kanan (decompensatio dextra) antara lain: JVP meningkat, batas jantung kanan melebar (terdapat RVH dan pulsasi epigastrium), pembesaran hati (hepatomegali), pembesaran limpa (splenomegali), cairan di rongga perut (ascites), bengkak (oedem) pada tungkai. Sedangkan manifestasi klinis gagal jantung kiri (decompensatio sinistra) antara lain: sesak nafas (dispneu, orthopneu, paroxismal nocturnal dispneu), batas jantung kiri melebar (terdapat LVH), nafas cheyne stokes, kebiruan (cyanosis), Right Bundle Branch (RBB), dan suara S3 (gallop). Penegakan Diagnosis Penegakan diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, foto thorax, ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi. Penyebab Gagal jantung dapat disebabkan oleh segala penyakit yang melemahkan otot jantung, menyebabkan kekakuan otot jantung, atau meningkatkan kebutuhan oksigen jaringan tubuh di luar kemampuan jantung untuk mengantarkan darah yang kaya oksigen secara memadai. Beberapa kondisi yang menyebabkan gagal jantung: • Penyakit jantung koroner. Penyumbatan arteri koroner dalam serangan jantung menghentikan aliran darah sehingga otot-otot jantung mati karena kekurangan oksigen. • Penyakit jantung lain seperti kardiomiopati (penyakit otot jantung), penyakit katup jantung, peradangan kantung jantung (perikarditis), gangguan irama jantung (aritmia), dan kelainan jantung bawaan. • Hipertensi. Tekanan darah tinggi terus-menerus membuat jantung bekerja keras dan menyebabkan penebalan otot jantung. Tiga perempat dari semua orang yang terkena gagal jantung adalah penderita hipertensi atau penyakit jantung koroner. • Penyalahgunaan alkohol dalam jangka panjang. • Penggunaan obat tertentu. Obat penyakit jantung dan diabetes tertentu dapat menyebabkan perkembangan atau memperburuk gagal jantung kongestif. Hal ini terutama pada obat yang dapat menyebabkan retensi natrium atau memengaruhi kekuatan otot jantung. • Diabetes. Diabetes yang tidak terkelola dapat menimbulkan komplikasi gagal jantung. • TERAPI Oleh para dokter ahli Penyakit Jantung akan di berikan obat-obatan yang di tujukan pada pengobatan penyebabnya dan pengobatan untuk mengatasi keluhan-keluhan akibat payah jantung. Pada umumnya pengobatan harus dilakukan secara terus-menerus dan teratur. Seumur hidup Penatalaksanaan Tujuan : 1. Menurunkan kerja jantung 2. Meningkatkan gurah jantung dan kontraktilitas miocard 3. Menurunkan retensi garam dan air Pelaksanaannya meliputi : 1. Tirah Baring Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung kongesti tahap akut dan sulit disembuhkan. 2. Pemberian diuretic Akan menurunkan preload dan kerja jantung 3. Pemberian morphin Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnoe berat. 4. Reduksi volume darah sirkulasi Dengan metode plebotomi, yaitu suatu prosedur yang bermanfaat pada pasien dengan edema pulmonal akut karena tindakan ini dengan segera memindahkan volume darah dari sirkulasi sentral, menurunkan aliran balik vena dan tekanan pengisian serta sebaliknya menciptakan masalah hemodinamik segera. 5. Terapi nitrit Untuk vasodilatasi perifer guna menurunkan afterload. 6. Terapi digitalis Obat utama untuk meningkatkan kontraktilitas (inotropik), memperlambat frekwensi ventrikel, peningkatam efisiensi jantung. 7. Inotropik positif a. Dopamin Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alpha-adrenergik beta-adrenergik. Dan reseptor dopamine ini mengakibatkankeluarnya katekolamin dari sisi penyimpanan saraf. Memperbaiki kontraktilitas curah jantung isi sekuncup. Dilatasi ginjal-serebral dan pembuluh koroner. Pada dosis maximal 10-20 mg/kg BB akan menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung. b. Dobutamin Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi dan tachicardi. Tindakan-tindakan mekanis • Dukungan mekanis ventrikel kiri (mulai 1967) dengan komterpulasi balon intra aortic / pompa PBIA. Berfungsi untuk meningkatkan aliran koroner, memperbaiki isi sekuncup dan mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri. • Tahun 1970, dengan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Alat ini menggantikan fungsi jantung paru. Mengakibatkan aliran darah dan pertukaran gas. Oksigenasi membrane extrakorporeal dapat digunakan untuk memberi waktu sampai tindakan pasti seperti bedah bypass arteri koroner, perbaikan septum atau transplantasi jantung dapat dilakukan. Prosedur Tetap Penanganan Gagal Jantung 1. Segera baringkan ke tempat tidur, dengan posisi ½ duduk 2. Berikan O2 3-6 liter/menit 3. Digitalisasi misalkan dengan a. cedilanid IV 1,2-1,6 mg/24 jam, b. digoxin IV 0,75– 1mg dalam 4 dosis/24 jam atau oral 0,5-2mg dalam 4 dosis/24 jam dilanjut 2x0,5mg selama 2-4 hari 4. Pasang infus Dextrose 5% atau NaCl 0,9% dapat ditambahkan aminofilin 1-2 ampul. Aminofilin dapat juga diberikan bolus 1 ampul IV pelan 5. Dapat diberikan lasix 1-2 ampul IV (40-80mg) dosis penunjang rata-rata 20mg 6. Beri tablet Kalium (Aspar K atau KSR) 7. Untuk NYHA kelas III dan IV dirawat di ICU Kebanyakan penderita gagal jantung perlu mengonsumsi obat-obatan. Dokter mungkin meresepkan obat untuk: * Mencegah gagal jantung agar tidak semakin buruk. Obat ini termasuk jenis ACE inhibitor, angiotensin reseptor blocker (ARB), beta blocker, dan nitrogliserin. * Mengurangi gejala sehingga Anda merasa lebih baik. Obat-obat ini termasuk diuretik, digoksin, dan kalium. * Mengobati penyebab gagal jantung Anda. Sangat penting untuk meminum obat seperti yang disarankan dokter Anda. Jika tidak, gagal jantung Anda bisa memburuk. Gagal jantung dengan disfungsi sistolik Pada umumnya obat-obatan yang efektif mengatasi gagal jantung menunjukkan manfaat untuk mengatasi disfungsi sistolik. Gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri hampir selalu disertai adanya aktivitas sistem neuro-endokrin, karena itu salah satu obat pilihan utama adalah ACE Inhibitor. ACE Inhibitor, disamping dapat mengatasi gangguan neurohumoral pada gagal jantung, dapat juga memperbaiki toleransi kerja fisik yang tampak jelas sesudah 3-6 bulan pengobatan. Dari golongan ACE-I, Kaptopril merupakan obat pilihan karena tidak menyebabkan hipotensi berkepanjangan dan tidak terlalu banyak mengganggu faal ginjal pada kasus gagal jantung. Kontraindikasinya adalah disfungsi ginjal berat dan bila ada stenosis bilateral arteri renalis. Diuretika, bertujuan mengatasi retensi cairan sehingga mengurangi beban volume sirkulasi yang menghambat kerja jantung. Yang paling banyak dipakai untuk terapi gagal jantung kongestif dari golongan ini adalah Furosemid. Pada usia lanjut seringkali sudah ada penurunan faal ginjal dimana furosemid kurang efektif dan pada keadaan ini dapat ditambahkan metolazone. Pada pemberian diuretika harus diawasi kadar kalium darah karena diuresis akibat furosemid selalu disertai keluarnya kalium. Pada keadaan hipokalsemia mudah terjadi gangguan irama jantung. Obat-obatan inotropik, seperti digoksin diberikan pada kasus gagal jantung untuk memperbaiki kontraksi ventrikel. Dosis digoksin juga harus disesuaikan dengn besarnya clearance kreatinin pasien. Obat-obat inotropik positif lainnya adalah dopamine (5-10 Ugr/kg/min) yang dipakai bila tekanan darah kurang dari 90 mmHg. Bila tekanan darah sudah diatas 90 mmHg dapat ditambahkan dobutamin (5-20 Ugr/kg/min). Bila tekanan darah sudah diatas 110 mmHg, dosis dopamin dan dobutamin diturunkan bertahap sampai dihentikan. Spironolakton, dipakai sebagai terapi gagal jantung kongestif dengan fraksi ejeksi yang rendah, bila walau sudah diterapi dengan diuretik, ACE-I dan digoksin tidak menunjukkan perbaikan. Dosis 25 mg/hari dan ini terbukti menurunkan angka mortalitas gagal jantung sebanyak 25%. Gagal jantung dengan disfungsi diastolic Pada usia lanjut lebih sering terdapat gagal jantung dengan disfungsi diastolik. Untuk mengatasi gagal jantung diastolik dapat dengan cara: • Memperbaiki sirkulasi koroner dalam mengatasi iskemia miokard (pada kasus PJK) • Pengendalian tekanan darah pada hipertensi untuk mencegah hipertrofi miokard ventrikel kiri dalam jangka panjang. • Pengobatan agresif terhadap penyakit komorbid terutama yang memperberat beban sirkulasi darah, seperti anemia, gangguan faal ginjal dan beberapa penyakit metabolik seperti Diabetes Mellitus. • Upaya memperbaiki gangguan irama jantung agar terpelihara fungsi sistolik atrium dalam rangka pengisian diastolik ventrikel. Obat-obat yang digunakan antara lain: 1. Antagonis kalsium, untuk memperbaiki relaksasi miokard dan menimbulkan vasodilatasi koroner. 2. Beta bloker, untuk mengatasi takikardia dan memperbaiki pengisian ventrikel. 3. Diuretika, untuk gagal jantung disertai udem paru akibat disfungsi diastolik. Bila tanda udem paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati agar jangan sampai terjadi hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun. Pemberian antagonis kalsium dan beta bloker harus diperhatikan karena keduanya dapat menurunkan kontraktilitas miokard sehingga memperberat kegagalan jantung. Cardiac Resynchronisation Therapy Untuk CHF dengan kelainan konduksi (Left bundle branch block) dapat dilakukan operasi implantasi alat biventricular-pacing untuk mengatasi dissinkronisasi ventrikelnya. Tapi hal ini juga malah dapat menyebabkan arrhytmia-induced sudden death. Oleh karena itu dipakai kombinasi dari alat biventricular-pacing dan cardioverter defibrillation. Transplantasi jantung Transplantasi jantung dilakukan pada pasien CHF yang bila tanpa operasi akan meninggal dalam waktu beberapa minggu. Umumnya dilakukan pada pasien lansia yang kurang dari 65 tahun, yang tidak memiliki masalah kesehatan yang serius lainnya. Lebih dari 75% pasien transplantasi jantung hidup lebih lama dari 2 tahun sesudah operasinya. Sebagian bahkan dapat hidup sampai lebih dari 12 tahun. Walaupun begitu, operasi transplantasi jantung merupakan suatu operasi besar yang sangat sulit dan banyak persyaratannya, mengingat : • Perlunya organ donor yang sesuai. • Prosedur operasinya sendiri yang sangat rumit dan traumatik. • Perlu adanya pusat spesialis. • Perlunya obat-obatan imunosupressan setelah operasi untuk mengurangi risiko penolakan organ oleh tubuh. • Beberapa kasus timbul antibodi yang menyerang bagian dalam dari arteri koronaria dalam waktu kira-kira setahun setelah operasi. Masalah ini tidak ada pengobatannya dan dapat berakhir dengan serangan jantung yang fatal. • DIET JANTUNG I Indikasi : Diet jantung I diberikan bagi pasien dengan gagal jantung. Dasar diet : Karena fungsi jantung terganggu maka aliran darah ginjal juga akan terganggu. Agar kadar ureum darah tidak meningkat maka perlu diberikan protein yang rendah. Sebagai akibat kegagalan jantung bisa menyebabkan timbulnya oedema. Untuk mengurangi oedema, pemberian garam harus dibatasi. Tujuan Diet: 1. Mengurangi beban ginjal 2. Mengurangi atau mencegah retensi natrium Syarat-syarat : - Cukup kalori (sesuai dengan kecukupan normal) - Karbohidrat sedang - Lemak rendah - Air dibatasi - Mineral + vitamin cukup ( Ca dibatasi) - konsumsi protein rendah 1-2g/kgBB - konsumsi natrium dibatasi 150-180 mg/hr pada bayi, 400 mg/hr pada anak. Bentuk makanan : Dihidangkan dalam bentuk makanan cair, mudah dicerna. Contoh menu sehari 7: Pagi Siang Sore 06.00 : makanan cair 12.00 : makanan cair 18.00 : makanan cair 09.00 : makanan cair 15.00 : makanan cair 21.00 : makanan cair 10.00 : Sari pepaya 16.00 : Sari jeruk - PENYAKIT JANTUNG REMATIK 1. Definisi Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik (DR). Demam reumatik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vascular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses reumatik merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan system saraf pusat. Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang sering dikenai, namun jantung merupakan organ dengan kerusakan yang terberat. Sedangkan keterlibatan organ lain bersifat jinak dan sementara. Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas, dengan masa laten 1-3 minggu. Perubahan radang fokal yang khas tersebar luas pada jaringan ikat di seluruh tubuh. Bila ditemukan pada jantung disebut Jisim Aschoff. Gangguan reumatik jantung melibatkan pericardium,miokardium,dan endokardium-pankar-ditis. Penyakit jantung reumatik adalah kelainan jantung yang terjadi akibat demam reumatik, atau kelainan karditis rematik. Demam reumatik akut ditandai oleh demam berkepanjangan, jantung berdebar keras, kadang cepat lelah. Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Penyakit ini dapat menyerang pria dan wanita. Pencegahan demam reumatik ada 2 cara: • Pencegahan primer Upaya pencegahan infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A sehingga tercegah dari penyakit demam reumatik. Program pencegahan primer sangat sukar dilakukan karena sangat banyaknya penduduk yang dicakup dan juga adanya infeksi Streptokokus hemolitik grup A (SGA) yang tidak memperlihatkan gejala-gejala yang khas. Sedangkan kekambuhan demam reumatik ± 30% bila terserang infeksi SGA. Untuk program pencegahan primer diperlukan obat Penisilin V 2juta unit/hari selama 10hari atau Eritromisin 40mg/kg/bb/hari selama 10hari. • Pencegahan sekunder Upaya mencegah menetapnya infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A pada bekas pasien demam reumatik. Dengan cara: o Untuk pasien <20 tahun, mendapat suntikan Benzatin Penisilin G 1,2 juta unit tiap 4 minggu sampai umur 25 tahun o Bila umur pasien >20 tahun, harus mendapat suntikan Benzatin Penisilin G (long-acting) selama 5 tahun
o Bila pasien telah selesai dengan protocol 1 dan 2 sedangkan terjadi kekambuhan lagi, maka akan mendapatkan kembali suntikan Benzatin Penisilin G dengan dosis 1,2 juta unit tiap 4 minggu, untuk 5 tahun berikutnya. Bila kasus berat tiap 3 minggu.

2. Etiologi
Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara adekuat, Maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung rematik. Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurah terarah menyebabkan racun/toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi kebocoran.














Pada umumnya demam rematik dianggap disebabkan langsung atau tidak langsung oleh Stretococcus hemolyticus golongan A, dan sebagian besar kenyataan menunjukkan adanya hipersensitisasi poststreptokok tidak lanngung. Seperti telah diketahui, demam rematik dapat timbul setelah serangan scarlatina, pharyngitis dan tonsillitis yang disebabkan oleh streptokok.
Zat anti terhadap berbagai antigen daripada Streptococcus hemolyticus golongan A, yaitu antifibrinolysin dan antistreptolysin-O (ASTO, antihemolysin) kadarnya lebih tinggi pada penderita dengan demam rematik akut daripada orang sehat, kasus khronik dan kasus inaktif. Juga ditemukan titer yang tinggi daripada antistrepto-hyaluronidase pada kasus akut. Biasanya titer meninggi dalam 4 minggu pertama penyakit.
Akan tetapi hanya sebagian kecil penderita yang diserang kuman-kuman ini menderita demam rematik. Kepekaan seseorang memegang peranan. Infeksi Streptokok persisten memperbesar kemungkinan terjadinya penyakit ini. Pada hampir semua serangan mendadak, ditemukan interval antara infeksi streptokok dan terjadinya proses rematik, mengingatkan kepada periode sensitisasi.
Berdasarkan observasi eksperimentil, telah ditarik kesimpulan bahwa bagian-bagian streptokok bersatu dengan protein jaringan ikat membentuk suatu antigen yang menimbulkan zat anti terhadap streptococcal-connective tissue protein complex. Zat anti itu kemudian menyebabkan reaksi imun pada jaringan ikat dengan akibat terjadinya nekrosis allergic fokal. Walaupun sebagian besar pendapat menyokong teori hipersensitisasi poststreptokok, ada pula pendapat yang menyokong teori virus atau bakteri lain.

3. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDEN
Meskipun individu-individu segala umur dapat diserang oleh demam reumatik akut, tetapi DR ini banyak terdapat pada anak-anak dan orang usia muda (5-15 tahun). Ada dua keadaan terpenting dari segi epidemiologic pada DR akut, yaitu kemiskinan dan kepadatan penduduk.
Tabel Insiden DR di beberapa Negara.

Negara Tahun Kel. Umur (thn) Insiden/100.000 Populasi
Inggris & Wales 1963 1-14 4,7
Kuwait 1984-1988 5-14 29
Saudi Arabia 1980-1984 5-14 22
Swedia 1971-1980 0-15 0,2
USA 1978 0-14 9
Iran 1975 Semua umur 59-100
Cekoslowakia 1972 1-15 8,5
Hongkong 1972 Semua umur 23
Indonesia (belum ada laporan) - -

Ternyata insiden yang tinggi dari karditis adalah pada anak muda dan terjadi kelainan katup jantung adalah sebagai akibat kekurangan kemampuan untuk melakukan pencegahan sekunder DR dan PJR. DR adalah penyebab utama terjadinya penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun. DR dan PJR adalah penyebab utama kematian penyakit jantung untuk usia dibawah 45 tahun, dan dilaporkan juga 25-40% penyakit jantung disebabkan oleh PJR untuk semua umur.

Banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit ini, misalnya :
• iklim: Peningkatan frekuensi pada iklim sedang,lembab.
• keadaan sosio-ekonomik : Lebih sering pada daerah urban(perkotaan) daripada daerah pedesaan pedalaman dan pada mereka dengan keadaan hidup yang buruk, darah padat dan miskin dan gizi yang tidak cukup.
• Keturunan
• Sex, Laki-laki : wanita = 4 : 3.
• Umur : Umur merupakan faktor terpenting karena penyakit ini terutama mengenai anak-anak. Lebih kurang 90% serangan pertama terjadi anatara umur 5 dan 15 tahun; 6% timbul pada usia 50 tahun keatas.
• Malnutrition
• Keadaan kesehatan yang memburuk dan daya tahan individu yang menurun.

4. PATHOGENESIS
Meskipun sampai sekarang ada hal-hal yang belum jelas, tetapi ada penelitian yang mendapatkan bahwa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitisasi dari antigen Streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih kurang 95% pasien menunjukan peninggian titer antistreptoksin O (AST), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman SGA.
Faktor-faktor yang diduga terjadinya komplikasi pasca Streptokokus ini kemungkinan utama adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus, dan kedua besarnya response umum dari “host” dan persistensi organisme yang menginfeksi faring. Resiko untuk kambuh sesudah pernah mendapat serangan Streptokokus adalah 50-60%.
Penelitian-penelitian lain kebanyakan menyokong mekanisme autoimunitas atas dasar reaksi antigen antibody terhadap antigen Streptokokus. Salah satu antigen tersebut adalah protein-M Streptokokus. Pada serum pasien DR akut dapat ditemukan antibody dan antigen. Antibody yang terbentuk bukan bersifat kekebalan. Dan reaksi ini dapat ditemukan pada miokard, otot skelet dan sel otot polos. Dengan imunofloresensi dapat ditemukan imunoglobulinnya dan komplemen pada sarkolema miokard.

5. Gambaran klinik
Demam reumatik terutama merupakan penyakit pada anak-anak dan dewasa muda, tetapi dapat ditemukan juga pada usia 60 atau 70 tahun. Awal gejala demam yang berangsur-angsur , 2-3 minggu setelah suatu faringtis(infeksi saluran penafasan bagian atas oleh streptokok hemolitik beta golonganA . atau infeksi streptokokus lain.
Gejala klinik utama :
• 85% mengalami poliartritis imigrans biasanya dari sendi-sendi besar.
• 65% mengalami pankarditis
• 30% mengalami khorea( kejang otot periodic yang tidak berguna)
Nodul-nodul subkutan dan gejala pulmunolar tidak begitu sering terjadi. Serangan akut awal menghilang setelah beberapa minggu dan dapat tetap tenang, tetapi eksaserbasi klinik dapat terajadi dalam interval, biasanya pada lima tahun peratama. Pada setia eksaserbasi, reiko karditis meningkat, sehingga akhirnya 75% dari semua pasien memperlihatkan bukti keterlibatan jantung.

6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM / PENUNJANG
Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokus Grup A sangat membantu diagnostic DR yaitu :
• Pada saat sabelum ditemukan infeksi SGA
• Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA tersebut
Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat dideteksi:
• Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA negative pada fase akut itu. Bila positif ini pun belum pasti membantu diagnostic sebab kemungkinan akibat kekambuhan dari kuman SGA itu atau infeksi Streptokokus dengan strain yang lain.
• Antibody Streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi Streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-seTerbentuknya antibody-antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk anak-anak. Dan antibody ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan. Untuk inilah pencegahan sekunder dilakukan tiap 3-5 minggu. Pada fase akut ditemukan lekositosis, laju endapan darah yang meningkat, protein C-reactive, mukoprotein serum. Laju endapan darah dan protein C-reactive yang tersering diperiksa dan selalu meningkat atau positif saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat-obat antirematik. Streptokokus

7. UPAYA-UPAYA DIAGNOSTIK
Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis, bukan hanya pada simtom, gejala atau kelainan laboratorium patognomonis. Pada tahun 1944 Jones menetapkan criteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja. Setelah itu criteria ini dimodifikasi pada tahun 1955 dan selanjutnya direfisi 1965, 1984 dan terakhir 1992 oleh AHA sebagai berikut :

Gejala Major Gejala Minor
Poliatritis Klinis : suhu tinggi
Karditis Sakit sendi (artralgia)
Korea Riwayat pernah menderita DR/PJR
Nodul Subkutaneus
Eritema Marginatum Lab : “reaksi fase akut”

Ditambah bukti-bukti adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan tenggorok yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-se B. Terutama pada anak/dewasa muda aloanamnesa pada orang tua dan keluarga sangat diperlukan.
Bila ada infeksi Streptokokus sebelumnya maka diagnosis DR/PJR didasarkan adanya :
1. Dua gejala mayor, atau
2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minor
Sedangkan penyediaan fasilitas pemeriksaan kuman Streptokokus belum meluas maka manifestasi klinis diatas harus dijadikan pegangan diagnosis suatu DR/PJR. Tentu perlu dibedakan dengan gejala-gejala penyakit lain seperti rematoid artristis, pegal-pegal kaki infeksi virus, kelainan jantung bawaan dan lain-lain.

8. KOMPLIKASI
DR/PJR yang kita kenal sekarang merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu penyakit DR/PJR. Adapun gejala-gejala itu adalah:

a) Artritis
Arthritis adalah gejala major yang sering ditemukan pada DR akut. Sendi yang dikenai berpindah-pindah pada cacat yang biasanya adalah sendi besar seperti lutut, pergelanngan kaki, paha, lengan, panggul, siku dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan menghilang secara perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minggu, sehingga terlihat sembuh sempurna. Proses migrasi arthritis ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi kecil jari tangan dan kaki juga dapat dikenai. Pengobatan dengan aspirin merupakan diagnostic terapetik pada artristik yang sangat bermanfaat. Bila tidak membaik dalam 24-72 jam, maka diagnostic akan diragukan.

b) Karditis
Karditis merupakan manifestasi klinis yang terpenting dengan insidens 40-50%, atau berlanjut dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang karditis itu asimtomatik dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung. Katp mitralah yang terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Katup aorta sendiri jarang dikenai. Adanya regulgitasi mitral ditemukan dengan bising sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga disertai bising mid-diastolik (bising Carey Coombs). Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan anatomi jantung sedangkan dengan Doppler dapat menentukan fungsi dari jantung. Miokarditis dapat bersamaan dengan endokarditis sehingga terdapat kardiomegali atau gagal jantung. Perikarditis tak akan berdiri sendiri, biasanya pankarditis.

c) Chorea
Chorea ini didapatkan 10% dari DR yang merupakan manifestasi klinis sendiri atau bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan cholea cukup lama yaitu 2-6 bulan atau lebih. Lebih sering dikenai pada perempuan pada umur 8-12 tahun. Dan gejala ini muncul selama 3-4 bulan. Dapat juga ditemukan pada anak, ini suatu emosi yang labil dimana anak ini suka menyendiri dan kurang perhtian dengan lingkungannya sendiri. Gerakan-gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada wajah dan anggot-anggota gerak tubuh yang biasanya unilateral. Dan gerakan ini menghilang saat tidur.

d) Eritema Marginatum
Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR, dan berlangsung berminggu-minggu dan berbulan, tidak nyeri dan tidak gatal.

e) Nodul Subkutanius
Besarnya kira-kir 0,5-2 cm, bundar, terbatas dan tidak nyeri tekan. Demam pada DR tidak khas, dan jarang menjadi keluhan utama oleh pasien DR ini.
Pada penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti-peneliti diberbagai Negara, dari manifestasi klinis DR yang dilaporkan oleh Committee of Rematic Fever tahun 1992 dan penelitian sendiri dapat dilihat dalam table dibawah ini.



Tabel Manifestasi Klinis dari gejala mayor DR/PJR dari Berbagai Negara

Di Negara Artristik Carditis Korea Eritema Marginatum Nodul Subkutan Mortalitas
S.Arabia,1984 (30) 80% 60% 7% 0% 0% 0%
Iraq,1988 (86) 92% 47% 1% 0% 0% 0%
Tunisia,1982 (324) 79% 63% 6% 6,4% NI NI
Kuwait,1992 (445) 81% 44% 10% 2% 0,4% 0,45%
USA,1962 (275) 76% 42% 8% 1% 4% 0,36%
India,1974 (102) 66% 34% 20% 2% 2% 0,98%
Indonesia - - - - - -
Asikin H 1984 38% 57% 35% 1,7% 2,2% -
Saharman L 1999 83% 94,5% 4,4% 1,6% 0% 11,5%

NB : NI=tidak ada laporan
Data ini dikutip dari Majeed AH untuk Negara diluar Indonesia

9. TERAPI
Apabila diagnosa penyakit jantung rematik sudah ditegakkan dan masih adanya infeksi oleh kuman Streptococcus tersebut, maka hal utama yang terlintas dari Tim Dokter adalah pemberian antibiotika dan anti radang. Misalnya pemberian obat antibiotika penicillin secara oral atau benzathine penicillin G. Pada penderita yang allergi terhadap kedua obat tersebut, alternatif lain adalah pemberian erythromycin atau golongan cephalosporin. Sedangkan antiradang yang biasanya diberikan adalah Cortisone and Aspirin.
Penderita dianjurkan untuk tirah baring dirumah sakit, selain itu Tim Medis akan terpikir tentang penanganan kemungkinan terjadinya komplikasi seperti gagal jantung, endokarditis bakteri atau trombo-emboli. Pasien akan diberikan diet bergizi tinggi yang mengandung cukup vitamin.
10. DIET JANTUNG II
Indikasi : Diberikan bagi pasien tanpa gagal jantung dan kemampuan kerja jantung tidak menurun, seperti pada demam reumatik dan penyakit jantung rematik.
Dasar diet :
Pada penderita CHD atau RHD umumnya berstatus gizi kurang karena pengangkutan zat-zat gizi ke jaringan tidak berjalan sempurna, ditambah dengan adanya sekunder infeksi. Oleh karena itu perlu diberikan makanan tinggi protein dan tinggi kalori.
Pemberian garam dapur tidak dibatasi, karena pada penderita ini tidak dijumpai oedem.
Tujuan Diet :
1. Memberikan makanan secukupnya agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal tanpa memberatkan kerja jantung.
2. Menyiapkan penderita CHD dalam keadaan baik untuk tindakan operasi.
Syarat-syarat :
- Tinggi kalori (175-180 kkal/BB/hr)
- Tinggi protein (3-4 gr/kgBB/hr)
- Karbohidrat sedang
- Lemak cukup
- Garam tanpa dibatasi (seperti pada makanan biasa)
- Air tanpa dibatasi
- Cukup vitamin dan mineral
Bentuk makanan : lunak atau makanan biasa.
Contoh menu sehari : Untuk anak berusia di atas tahun
Pagi Siang Sore
-nasi
-telur dadar
-tempe bacem
-tumis buncis
-susu -nasi
-ikan bumbu kuning
-tahu telur
-sup sayuran
-pepaya -nasi
-Daging empal
-sup kacang merah
-oseng-oseng kangkung
-pisang
10.00 14.00 21.00
Bubur kacang hijau Puding Susu
Pada diet jantung II hampir semua makanan boleh diberikan, kecuali makanan yang merangsang saluran cerna dan mengandung gas seperti kol, lobak, sawi, durian, nangka, cabai, dan lada.




BEDAH JANTUNG
1. Definisi Bedah jantung
Bedah jantung merupakan usaha atau operasi yang dikerjakan untuk melakukan koreksi kelainan anatomi atau fungsi jantung.

Operasi Jantung Dibagi Atas :
1. Operasi jantung terbuka
Yaitu operasi yang dijalankan dengan membuka rongga jantung dengan memakai bantuan mesin jantung paru (mesin extra corporal).
2. Operasi jantung tertutup
Yaitu setiap operasi yang dijalankan tanpa membuka rongga jantung misalnya ligasi PDA, Shunting aortopulmonal.

2. Tujuan Operasi Jantung
Operasi jantung dikerjakan dengan tujuan baermacam-macam antara lain :
1. Koreksi total dari kelainan anatomi yang ada, misalnya penutupan ASD, Pateh VSD, Koreksi Tetralogi Fallot, Koreksi Transposition Of Great Arteri (TGA). Umumnya tindakan ini dikerjakan terutama pada anak-anak (pediatrik) yang mempunyai kelainan bawaan.
2. Operasi paliatif yaitu melakukan operasi sementara untuk tujuan mempersiapkan operasi yang definitif/total koreksi karena operasi total belum dapat dikerjakan saat itu, misalnya shunt aortopulmonal pada TOF, Pulmonal atresia.
3. Repair yaitu operasi yang dikerjakan pada katub jantung yang mengalami insufisiensi.
4. Replacement katup yaitu operasi penggantian katup yang mengalami kerusakan.
5. Bypass koroner yaitu operasi yang dikerjakan untuk mengatasi stenosis/sumbatan arteri koroner.
6. Pemasangan inplant seperti kawat ‘pace maker’ permanen pada anak-anak dengan blok total atrioventrikel.
7. Transplantasi jantung yaitu mengganti jantung seseorang yang tidak mungkin diperbaiki lagi dengan jantung donor dari penderita yang meninggal karena sebab lain.

3. Diagnostic
I. Gejala
A. Angina pectoris
Angina bisa timbul saat istirahat, gerak badan atau dengan distress emosi. Pada beberapa pasien dengan penyakit oklusi yang parah, mungkin tidak timbul. Angina di tandai oleh gejala subjektif yaitu nyeri. Sehingga tidak boleh di berikan terlalu banyak penekanan atas nyeri angina yang klasik. Selama wawancara menyeluruh, kebanyakan pasien menghubungkan sejumlah gejala dengan gerak badan.
B. Sesak nafas
Sesak nafas bisa menunjukan gagal jantung kongesti (CHF) yang di sebabkan oleh iskemia sementara atau kerusakan miokardium yang permanen. Sekirar 20% pasien dalam kebanyakan seri menderita gejala CHF.
C. Gejala samar
Sebenarnya semua jenis ketidak nyamanan dada,leher atau gastrointestinalis dapat disertai dengan penyakit koronaria.
D. Aritma
Beberapa pasien menggambarkan denyut ventrikel premature atau frekuensi jantung yang cepat atau lambat berhubungan dengan gerak badan.



II. Teknik diagnosik noninvasive
A. Elektrokardiogram (EKG)
Sekitar 50 sampai 60% pasien yang merupakan calon pembedahan arteri koronaria mempunyai EKG istirahat abnormal yang menunjukan iskemia, aritmia,atau suatu infark miokardium(MI) yang lama.
B. EKG stress
Pada pasien tanpa angina tidak stabil atau EKG iskemik saat isirahat , EKG stress memuaskan sebagian garis dasar untuk perbandingan massa yang akan datng dan sebagai indikasi bagi kemungkinan pembedahan padapasien yang relative asimtomatik.
C. Penilitian penampilan ventrikel kiri saat istirahat dan dengan gerak badan
Penelitian ini bisa memperlihatkan lokasi daerah iskemia miokardium dengan penyakit anatomi. Penelitian prabedah garis dasar bisa digunakan untuk mengevaluasi hasil pascabeda segera dan lanjut dengan memperhatikan hilangnya iskemia dan tidak adanya daerah cedera yang baru.
III. Teknik diagnostic invasive
A. Arteriogram koronaria
Untuk diagnosis CAD penting adalah arteriogram koronaria. Ateriografi koronaria. Arteriografi koronaria yag tepat sama penting untuk diagnosis penyakit koronaria seperti teknik bedah ynag baik dalam terapinya. Ahli bedah sangat tertarik pada semua bidang stenosis di dalam arteri koronaria utama dan cabangnya. Penting menentukan jumlah oklusi yang tepat dari tiap cabang, kualitas sirkulasi distal dan derajat keterlibatan miokardium. Disamping pandangan standar, pandangan khusus bisa diperlukan untuk memperlihatkan stenosis arteri koronaria sinister, obstruksi arteri di atasnya atau pengisian distal dari cabang yang tersumbat.


B. ventrikulogram
Suntikan ventrikel dalam kedua pandangan penting untuk menentukan fraksi ejeksi (EF) ventrikel kiri serta untuk menilai secara kualitatif dan kuantitatif fungsi ventrikel melalui gerakan dindinh dan septum segmental dan umum. Juga penting menentukan adanya insufisiensi mitral sebagai komplikasi CAD.
C. Kateterisasi
Biasanya tidak dilakukan, kecuali ada CHF atau diduga ada cacat septum ventrikel.
D. Aortogram atau rteriografi perifer
Jika penggunaan balon intra-aorta dipikirkan, maka aorta dapat divisualisasi untuk menghilangkan kemungkinan penyakit aortoiliaka. Jika pasien mempunyai bruit karotis sistomatik atau asistomatik atau bukti penyakit vascular lainnya, maka arteriogram perifer dapat dilakukan secara berasamaan.
IV. Penyakit penyerta
Penting menentukan factor risioko khusus (yang telah dibahas di tempat lain) sebelum pembedahan, sehingga tindakan pencegahan bisa dilakukan setelah pembedahan. Disamping itu, adanya keadaan penyakit umum lain seperti diabetes serta penyakit paru, ginjal dan pendarahan harus ditentukan. perhatian khusus harus diberikan bagi adanya penyakit vascular perifer yang bersifat arteriosklerotik. Penyakit jantung lainnya yang mencakup penyakit congenital dan katup harus dievaluasi. Pemantuan EKG 24 jam bisa menunjukkan keperluan penempatan pacu jantung atau pembedahan ablasi yang dikhususkan. Brewster dkk. Melaporkan penggunaan pencitraan miokardium dipridamol-stres-talium (yang menyebabkan vasodi-latasi arteri koronaria tanpa gerak badan) sebagai tindakan penyaring pada pasien penyakit koronaria yang baru akan menjalani pembedahan vascular utama.



4. Indikasi Operasi
1. “Left to rigth shunt” sama atau 1,5).
2. lebih dari 1,5 (aliran paru dibandingkan aliran ke sistemik “Cyanotic heart disease “.
3. Kelainan anatomi pembuluh darah besar dan koroner
4. Stenosis katub yang berat (symtomatik).
5. Regurgitasi katub yang berat (symtomatik)
6. Angina pektoris kelas III dan IV menurut Canadian Cardiology Society (CCS).
7. “Unstable angina pectoris”.
8. Aneurisma dinding ventrikel kiri akibat suatu infark miokardium akut.
9. Komplikasi akibat infark miokardium akut seperti VSD dan mitral regurgitasi yang berat karena ruptur otot papilaris.
10. “Arrhytmia” jantung misalnya WPW syndrom.
11. Endokarditis/infeksi katub jantung.
12. Tumor dalam rongga jantung yang menyebabkan obstruksi pada katub misalnya myxoma.
13. Trauma jantung dengan tamponade atau perdarahan.

5. PEMILIHAN PASIEN
Pemilihan pasien yang sebenarnya bisa bervariasi , yang tergantung atas pengalaman tim kardiovaskuler.
1. Usia
Jika anomali congenital arteri koronaria dicakup, maka kita telah melakukan operasi arteri koronaria pada pasien mulai dari neonatus sampai Sembilan puluh tahun. Disamping itu beberapa pasien dari usia 19-23 tahun dengan hiperlidemia yang parah telah menjalani pembedahan. Kebanyakan pasien antara usia 40 dan 69 tahun. Di atas 70 tahun , resiko pmbedahan lebih besar karena penyakit yang menyertai. Tetapi usia tidak abash, bila di bandingkan dengan sifat serius penyakit ini.


2. Jenis kelamin
Mortalitas dini untuk wanita dalam kebanyakan usia sebesar dua kali pria. Tetapi mortalitas lanjut lebhih rendah ,shingga kelangsungan hidup sebenarnya setelah 14 tahun serupa dalam kedua kelompok (pria 54% : wanita 56%).

3. gejala dan tanda
A. Angina yang sulit diatasi
Jelas bahwa pasien yang menderita angina yang sulit diatasi, walaupun ada terapi medis yang optimum merupakan calon pembedahan. Karena nyeri merupakan gejala subjektif, maka semua pasien yang menderita penyakit anatomi yang bermakna yang diperlihatkan secara arterio-gram harus dianggap calon bedah.
B. Angina tidak stabil
Kami mempertimbangkan angina tidak stabi merupakan suatu kedaruratan bedah yang mungkin. Penelitian diacak sebelumnya dan berseri telah memperlihatkan hasil yang hampirsama dlam terapi bedah dalam kebanyakan seri ini, dalam tindak menjalani pembedahan akan memburuk.
C. Gagal janung kongesti (CHF)
Gejala bisa dihilangkan dengan pintas arteri koronaria, jika iskemia merupakan penyebab CHF. Dalam kebanyakan kasus penyakit yang berlangsung lama dengan MI majemuk dan kontraktilitas miokardium yang buruk, CHF tidak akan diringankan. Pada pasien dengan komplikasi CAD, seperti aneurisma ventrikal, gabungan bisa menyebabkan keringan CHF.

4. Penyakit bukan jantung yang menyertai
A. Hiperlipidemia
Hasil pembedahan pada pasien hiperlipidemia belum berbeda mengenaimortalitasnya. Tetapi kekambuhan penyakit tampak lebih tinggi pada pasien ini, terutama jia hiperlipidemia tidak dikendalikan. Karena kebanyakan pasien ini sangat memerlukan pembedahan untuk menghilangkan gejala dan untuk hidup panjang, maka pintas arteri koronaria bukan merupakan kontraindikasi.


B. Diabetes Melitus
Adanya atau keparahan dabetes bukan kontradiksi pembedahan pintas arteri koronaria. Tetapi mungkin ada peningkatn dalam masalah luka,terutama jika pasien terlalu gemuk.
C. Hipertensi
Hipertensi harus dikendalikan selama pembedahan dan bukan merupakan kontraindikasi. Hipertensi renalis yang terlihat pada beberapa paien, dapat dikoreksi setelah pembedahan, terutama jika sindrom iskemik tidak stabil.
D. Kelaina Pendarahan
Jika kelainan pendarahan didiagnosis sebelum pembedahan, biasanya dapat dikendalikan dengan koreksi keadaan perdarahan setelah pintas arteri koronaria. Masalah yang bisa timbul biasanya akibat iagnosis prabeah yang tidak tepat. Dengan bantuan adanya terapi komponen darah dan konsultasi hematologi, maka keadaan ini bukan merupakan kontraindikasi.
E. Gagal ginjal
Berbagai derajat gagal ginjal bukan kontraindikasi. Dalam beberapu kasus gagal ginjal bisa meningkat, tetapi dapat diterapi dengan hemodialisis sementara. Kami telah melakukan operasi pada banyak pasien yang telah menjalani hemodialisis karena menahun.
F. Penyakit vascular perifer
Sekitar 40% pasien yang menjalani operasi vascular utama menderita CAD secara bersamaan. Dalam penelitian belakangan ini,menemukan bahwa pintas
Secara pasti melindungi pasien yang menjalani operasi vascular perifer nantinya

5. Penyakit jantung penyerta
A. Aritma
Sejumlah kecil pasien(kurang dari 1%) menderita arimia ventrikel berulang sebagai gejala penyakit arteri koronaria. Pembedahan pintas arteri koronaria atau reseksi aneurisma ventrikel saja biasanya tidak mengablasi aritmia ventrikel.
B. Blok jantung
Berbagai jenis blok jantung bisa didiagnosis sebelum pembedahan, yang mencakup semua keadaan yang memerlukan penempatan pacu jantung tanpa CAD penyerta.
6. Toleransi dan perkiraan resiko operasi
Toleransi terhadap operasi diperkirakan berdasarkan keadaan umum penderita yang biasanya ditentukan dengan klasifikasi fungsional dari New York Heart Association.
Klas I : Keluhan dirasakan bila bekerja sangat berat misalnya berlari.
Klas II : Keluhan dirasakan bila aktifitas cukup berat misalnya berjalan cepat.
Klas III : Keluhan dirasakan bila aktifitas lebih berat dari pekerjaan sehari-hari.
Klas IV : Keluhan sudah dirasakan pada aktifitas primer seperti untuk makan dan lain-lain sehingga penderita harus tetap berbaring ditempat tidur.

7. Waktu Terbaik (Timing) Untuk Operasi
Hal ini ditentukan berdasarkan resiko yang paling kecil. Misalnya umur yang tepat untuk melakukan total koreksi Tetralogi Fallot adalah pada umur 3 - 4 tahun.Hal ini yaitu berdasarkan klasifikasi fungsional di mana operasi katub aorta karena suatu insufisiensi pada klas IV adalah lebih tinggi dibandingkan pada klas III. Hal ini adalah saat operasi dilakukan. Operasi pintas koroner misalnya bila dilakukan secara darurat resikonya 2 X lebih tinggi bila dilakukan elektif.

Pembagian Waktu dibagi atas :
1. Emergensi yaitu operasi yang sifatnya sangat perlu untuk menyelamatkan jiwa penderita. Untuk bypass coroner hal ini dilakukan kapan saja tergantung persiapan yang diperlukan.
2. Semi Elektif yaitu operasi yang bisa ditunda 2 - 3 hari atau untuk koroner dilakukan 3 X 24 jam setelah dilakukan kateterisasi jantung.
3. Elektif yaitu operasi yang direncanakan dengan matang atas indikasi tertentu, waktunya lebih dari 3 hari.

Pemilihan Tehnik Operasi Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah :
1. Apakah bisa dilakukan koreksi total
2. Kalau tidak bisa dilakukan koreksi total karena keterbatasan umur dan anatomi/kelainan yang didapat maka harus dipilih tehnik operasi untuk membantu operasi definitif misalnya “ shunt “ pada Tetralogi Fallot.
3. Apabila tidak bisa dilakukan koreksi total atau operasi definitif dengan resiko yang tinggi maka harus dipilih operasi untuk memperbaiki kwalitas hidup penderita tersebut misalnya “shunt” saja.
4. “Repair” katub lebih diutamakan/dianjurkan dari pada “replacement”/penggantian katub yang rusak.
5. Hasil-hasil dari kasus-kasus yang sudah dikerjakan orang lain.

6. Sayatan Operasi
1. Mid Sternotomi
Posisi klien terlentang, kepala ekstensi dan daerah vertebra antara skapula kanan dan kiri diganjal secukupnya sehingga insisi cukup leluasa. Harus diperhatikan dalam setiap posisi :
a. Seluruh daerah yang mengalami tekananan harus dilindungi dengan bantal atau karet busa misalnya kepala, daerah sakrum dan tumit. Tidak boleh ada barang-barang logam yang keras, kontak langsung dengan penderita sehingga dapat terjadi dekubitus.
b. Pemasangan “lead EKG “, kateter urin, slang infus tidak boleh “kinking” dan melewati bawah kulit klien sehingga menimbulkan bekas.
c. Pemasangan “plate kauterisasi” pada otot pinggul dan hati-hati terhadap N. ischiadicus yang berjalan di daerah sakrum dan penderita harus dihubungkan dengan kabel yang ke bumi.
d. Posisi penderita harus difiksasi dengan stabil sehingga tidak mudah meluncur kalau meja operasi diputar atau tidak bergerak kalu dilakukan shock listrik.

Insisi kulit pada daerah median mulai dari atas suprasternal notch vertikal sampai 3 cm di bawah prosesus xyphoideus dengan pisau No. 24 bila klien dewasa, untuk bayi dan anak-anak dengan pisau No. 15.
Hemostasis dengan kauterisasi fasia sampai ligamen subra sternal dipotong, begitu juga prosesus xyphoideus ibelah dengan gunting kasar. Hemostasis dari vena yang melintang di atas prosesus xyphoideus harus baik.
Tulang sternum dibelah dengan gergaji listrik biasanya dari arah prosesus xypoideus ke atas dan saat itu paru-paru dikolapskan beberapa detik untuk menghindari terbukanya pleura. Hemastasis pinggir sternum dengan kauter dan bila perlu gunakan bone wak.Selanjutnya sisa-sisa kelenjar timus, didiseksi sampai vena inominata kelihatan bebas. Perikardium dibuka di tengah atau agak ke kanan apabila akan digunakan untuk “patch” dan dilebarkan sedikit kearah lateral dibagian proksimal dan diafragma. Perikardium difixir ke pinggir luka sehingga jantung agak terangkat.
Apabila prosedur utama telah selesai dan dinding dada akan ditutup maka harus diyakini benar bahwa hemostasis terhadap semua bekas insisi dan jahitan telah aman, perikardium kalau perlu tidak usah ditutup rapat, dipasang drain untuk mengeluarkan sisa darah, sternum diikat dengan kawat. Harus diingat saat menutup sternum apakah ada pengaruh terhadap tekanan darah terutama kalau tekanan darah turun. Jahitan kulit subkutikuler/kutikuler dengan dexon.

2. Torakotomi posterolateral
Sayatan ini biasanya untuk klien koarktasio aorta, PDA, shunt atau aneurisma aorta desenden. Posisi klien miring ke kanan dengan syarat-syarat seperti di atas.Insisi kulit mulai dari garis aksila tengah ke posterior kira-kira 2 cm di bawah angulus inferior skapula dan prosesus spinosus vertebra. Kulit, subkutis, otot latisimus dorsi dipotong dengan hemostasis yang baik dengan kauter dan otot seratus anterios hanya dibelah dan dipotong pada insertionya.Rongga toraks dibuka pada sela iga ke 4 dengan diseksi di bagian atas iga ke V untuk menghindari pembuluh darah. Setelah selesai rongga toraks ditutup dengan mengikat iga dengan jahitan absorbable dan selanjutnya otot diapraksimasi kembali seperti aslinya dan kulit dijahit subkutikuler.



3. Torakotomi Anterolateral
Posisi penderita terlentang dan bagian kiri . Insisi pada seladiganjal sedikit sehingga lebih tinggi / miring 45 iga ke V. Pendekatan ini untuk emergensi karena luka tusuk jantung dengan tamponade atau hanya perikardiotomi banding pulmonalis.

7. Persiapan penderita prabedah.
Setelah penderita diputuskan untuk operasi maka perlu dipersiapkan agar operasi dapat berlangsung sukses. Persiapan terdiri dari :
a) Persiapan mental
Menyiapkan klien secara mental siap menjalani operasi, menghilangkan kegelisahan menghadapi operasi. Hal ini ditempuh dengan cara wawancara dengan dokter bedah dan kardiolog tentang indikasi operasi, keuntungan operasi, komplikasi operasi dan resiko operasi. Diterangkan juga hal-hal yang akan dialami/akan dikerjakan di kamar operasi dan ICU dan alat yang akan dipasang, juga termasuk puasa, rasa sakit pada daerah operasi dan kapan drain dicabut.

b) Persiapan medical
1. Obat-obatan
o Semua obat-obatan antikoagulan harus dihentikan 1 minggu sebelum operasi (minimal 3 hari sebelum operasi).
o Aspirin dan obat sejenis dihentikan 1 minggu sebelum operasi.
o Digitalis dan diuretik dihentikan 1 hari sebelum operasi.
o Antidiabetik diteruskan dan bila perlu dikonversi dengan insulin injeksi selama operasi.
o Obat-obat jantung diteruskan sampai hari operasi.
o Antibiotika hanya diberikan untuk propilaksis dan diberikan waktu induksi anestesi di kamar operasi, hanya diperlukan test kulit sebelum operasi apakah ada alergi.
2. Laboratorium 1 hari sebelum operasi antara lain :
• Hematologi lengkap + hemostasis.
• LFT.
• Ureum, Creatinin.
• Gula darah.
• Urine lengkap.
• Enzim CK dan CKMB untuk CABG.
• Hb S Ag.
• Gas darah.

Bila ada kelainan hemostasis atau faktor pembekuan harus diselidiki penyebabnya dan bila perlu operasi ditunda sampai ada kepastian bahwa kelainan tersebut tidak akan menyebabkan perdarahan pasca bedah.

3. Persiapan darah untuk operasi.
Permintaan darah ke PMI terdiri dari :
• Packad cell : 750 cc
• Frash Frozen Plasma : 1000 cc
• Trombosit : 3 unit.

Permintaan darah ke PMI minimal 24 jam sebelum operasi elektif dan tentu tergantung persediaan darah yang ada di PMI saat itu.

4. Mencari infeksi fokal.
Biasanya dicari gigi berlobang atau tonsilitis kronis dan ini konsultasikan ke bagian THT dan gigi. Kelainan kulit seperti dermatitis dan furunkolosis/bisul harus diobati dan juga tidak dalam masa inkubasi/infeksi penyakit menular.

5. Fisioterapi dada.
Untuk melatih dan meningkatkan fungsi paru selama di ICU dan untuk mengajarkan bagaimana caranya mengeluarkan sputum setelah operasi untuk mencegah retensi sputum. Bila penderita diketahui menderita asthma dan penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) maka fisioterapi harus lebih intensif dikerjakan dan kadang-kadang spirometri juga membantu untuk melihat kelainan yang dihadapi. Bila perlu konsultasi ke dokter ahli paru untuk problem yang dihadapi.

6. Perawatan sebelum operasi.
Saat ini perawatan sebelum operasi dengan persiapan yang matang dari poliklinik maka perawatan sebelum operasi dapat diperpendek misalnya 1 - 2 hari sebelum operasi. Hal ini untuk mempersiapkan mental klien dan juga supaya tidak bosan di Rumah Sakit.


8. Perawatan pasca bedah
Perawatan pasca bedah dimulai sejak penderita masuk ke ICU. Untuk mengetahui problem pasca bedah dianjurkan untuk mengetahui problem penderita pra bedah sehingga dapat diantisipasi dengan baik.Misalnya problem pernapasan, diabetes dan lain-lain.

Perawatan pasca bedah dibagi atas :
1. Perawatan di ICU.
a) Monitoring Hermodinamik
Setelah penderita pindah di ICU maka timbang terima antara perawat yang mengantar ke ICU dan petugas/perawat ICU yang bertanggung jawab terhadap penderita tersebut : Dianjurkan setiap penderita satu perawat yang bertanggung jawab menanganinya selama 24 jam. Pemantauan yang dikerjakan harus secara sistematis dan mudah :
• CVP, RAP, LAP,
• Denyut jantung.
• “Wedge presure” dan PAP.
• Tekanan darah.
• Curah jantung.
• Obat-obat inotropik yang digunakan untuk support fungsi jantung dosisnya, rutenya dan lain-lain.
• Alat lain yang dipakai untuk membantu seperti IABP, pach jantung dll.
b) EKG Pemantauan
EKG setiap saat harus dikerjakan dan dilihat irama dasar jantung dan adanya kelainan irama jantung seperti AF, VES, blok atrioventrikel dll. Rekording/pencatatan EKG lengkap minimal 1 kali dalam sehari dan tergantung dari problem yang dihadapi terutama bila ada perubahan irama dasar jantung yang membahayakan.
c) Sistem pernapasan
Biasanya penderita dari kamar operasi masih belum sadar dan malahan diberikan sedasi sebelum ditransper ke ICU. Sampai di ICU segera respirator dipasang dan dilihat :
• Tube dan ukuran yang diapakai, melalui mulut / hidung.
• Tidak volume dan minut volume, RR, , PEEP.
• Dilihat aspirat yang keluar dari bronkhus / tube, apakahFi O lendirnya normal, kehijauan, kental atau berbusa kemerahan sebagai tanda edema paru ; bila perlu dibuat kultur.
d) Sistem neurologis
Kesadaran dilihat dari/waktu penderita mulai bangun atau masih diberikan obat-obatan sedatif pelumpuh otot. Bila penderita mulai bangun maka disuruh menggerakkan ke 4 ektremitasnya.
e) Sistem ginjal
Dilihat produksi urine tiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat hemolisis dan lain-lain. Pemerikasaan ureum / kreatinin bila fasilitas memungkinkan harus dikerjakan.
f) Gula darah
Bila penderita adalah dabet maka kadar gula darah harus dikerjakan tiap 6 jam dan bila tinggi mungkin memerlukan infus insulin.
g) Laboratorium :
Setelah sampai di ICU perlu diperiksa :
• HB, HT, trombosit.
• ACT.
• Analisa gas darah.
• LFT / Albumin.
• Ureum, kreatinin, gula darah.
• Enzim CK dan CKMB untuk penderita bintas koroner.
h) DrainDrain
Yang dipasang harus diketahui sehingga perdarahan dari mana mungkin bisa diketahui. Jumlah drain tiap satuan waktu biasanya tiap jam tetapi bila ada perdarahan maka observasi dikerjakan tiap ½ jam. Atau tiap ¼ jam. Perdarahan yang terjadi lebih dari 200 cc untuk penderita dewasa tiap jam dianggap sebagai perdarahan pasca bedah dan muingkin memerlukan retorakotomi untuk menghentikan perdarahan.
i) Foto thoraks
Pemerikasaan foto thoraks di ICU segera setelah sampai di ICU untuk melihat ke CVP, Kateter Swan Ganz. Perawatan pasca bedah di ICU harus disesuaikan dengan problem yang dihadapi seperti komplikasi yang dijumpai. Umumnya bila fungsi jantung normal, penyapihan terhadap respirator segera dimulai dan begitu juga ekstratubasi beberapa jam setelah pasca bedah.
j) Fisioterapi.
Fisioterapi harus segera mungkin dikerjakan termasuk penderita dengan ventilator. Bila sudah ekstubasi fisioterapi penting untuk mencegah retensi sputum (napas dalam, vibrilasi, postural drinase).

2. Perawatan setelah di ICU / di Ruangan.
Setelah klien keluar dari ICU maka pemantauan terhadap fungsi semua organ terus dilanjutkan. Biasanya pindah dari ICU adalah pada hari ke dua pasca bedah. Umumnya pemeriksaan hematologi rutin dan thoraks foto telah dikerjakan termasuk laboratorium LFT, Enzim CK dan CKMB.
Hari ke 3 lihat keadaan dan diperiksa antara lain :
• Elektrolit thrombosis.
• Ureum
• Gula darah.
• Thoraks foto
• EKG 12 lead.
Hari ke 4 : lihat keadaan, pemeriksaan atas indikasi.
Hari ke 5 : Hematologi, LFT, Ureum dan bila perlu elektrolit, foto thoraks tegak.
Hari ke 6 - 10 pemerikasaan atas indikasi, misalnya thrombosis.

9. Obat – obatan
Biasanya diberikan analgetik karena rasa sakit daerah dada waktu batuk akan mengganggu pernapasan klien. Obat-obat lain seperti anti hipertensi, anti diabet, dan vitamin harus sudah dimulai, expectoransia, bronchodilator, juga diperlukan untuk mengeluarkan sputum yang banyak sampai hari ke 7 atau sampai klien pulang.
Perawatan luka, dapat tertutup atau terbuka. Bila ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan dan bengkak pada luka apalagi dengan tanda-tanda panas, lekositosis, maka luka harus dibuka jahitannya sehuingga nanah yang ada bisa bebas keluar. Kadang-kadang perlu di kompres dengan antiseptik supaya nanah cepat kering. Bila luka sembuh dengan baik jahitan sudah dapat di buka pada hari ke delapan atau sembilan pasca bedah. Untuk klien yang gemuk, diabet kadang-kadang jahitan dipertahankan lebih lama untuk mencegah luka terbuka.

10. Fisioterapi
setelah klien exstubasi maka fisioterapi harus segera dikerjakan untuk mencegah retensi sputum yang akan menyebabkan problem pernapasan. Mobilisasi di ruangan mulai dengan duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berjalan disekitar tempat tidur, berjalan ke kamar mandi, dan keluar dari ruangan dengan dibimbing oleh fisioterapis atau oleh perawat.




11. Diet Makanan
Hindari makanan yang mengandung kadar kolesterol tinggi dan kurangi garam dalam makanan. Makanan gorengan, daging lemak tinggi, jerohan, kuning telur, kulit ayam, sedapat mungkin dihindari. Juga kopi dan minuman keras. Hindaringemil, terutama malam hari menjelang tidur. Sebaliknya tambahlah makan makanan berserat tinggi.












Daftar Pustaka
http://www.diskopjatim.go.id/lensa/tips/39-tips/238-payah-jantung.html
Nadesul, Handrawan. Resep Mudah Tetap Sehat. Jakarta: Kompas. 2009.
Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume I : Hudak dan Gallo Hal. 360-379, Penerbit buku kedokteran.
http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/04/decompensasi-cordis-payah-jantung.html
Arif Mansjoer dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, edisi 3, jilid I, 1999, hal : 434 – 437.
Laksono S. Patofisiologi Payah Jantung Kronik. Cermin Dunia Kedokteran (CDK) 169/Vol.36 No.3/Mei-Juni 2009. Hlm.172-175.
MM Panggabean, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV, jilid 3, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006, hal : 1513 – 1514.
Sugeng dan Sitompul. 2003. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
http://radiology.casereports.net/index.php/rcr/article/viewFile/71/254/1470
http://en.wikipedia.org
http://netsains.com/2009/08/misteri-gagal-jantung/
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2123614-apakah-gagal-jantung-atau-payah/#ixzz1NBwd1r9X
http://www.smallcrab.com/jantung/540-sekilas-mengenal-gagal-jantung
http://pusatinformasiobat.wordpress.com/
http://www.youtube.com/watch?v=3YddwXPWVSc&feature=player_embedded#at=179
http://susrigz08.blogspot.com/2010/03/diet-pada-penyakit-jantung-anak.html

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimakasih banyak untuk informasinya... sangat membantu,

http://tokoonlineobat.com/obat-jantung-rematik-alami/

Posting Komentar